Oleh: Fatahillah Hoed
(tulisan ini komentar atas “Sejuta harap dan Cemas Advokat tanpa izin Praktek pada 2004 tertanggal 23 januari 2004)
Judul di atas mungkin bagi para pengacara senior terkesan nyeleneh, karena ditulis oleh seorang freshgraduate dengan Indeks Prestasi sekedarnya. Tetapi secara jujur memang harus diakui bahwa UU Advokat tersebut memang harus diamandemen, entah karena kesadaran pembuat undang-undang atau putusan dari Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang tengah diusahakan APHI.
Urgensi adanya amandemen tersebut karena secara yuridis-faktual dalam realitas dunia hukum Indonesia terdapat hal-hal yang membuat keberadaan UU tersebut memberikan dampak negatif bagi perkembangan dunia hukum di Indonesia, kecuali bagi para pengacara senior dengan pengetahuan hukum masa lalu dan sebatas hukum acara di Pengadilan.
Pada pasal 1 angka 1 dan 2 UU Advokat mengkriteriakan seorang advokat sebagai pemberi jasa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien di dalam dan di luar pengadilan sesuai UU tersebut. Kriteria tersebut menjadi elemen penting bagi pasal 31. Pertanyaannya adalah apakah pasal itu berlaku efektif baik di dalam dan di luar pengadilan?
Adagium lex spesialis derogat lex generalis ternyata berlaku juga terhadap UU ini. Hal ini antara lain terindikasi dengan melihat pasal 34 ayat 2 UU No.24 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Pada pasal tersebut tidak ada ketentuan yang mensyaratkan adanya surat izin advokat bagi kuasa hukum yang mendampingi para pihak di Pengadilan Pajak. Selain itu pada pasal 32 ayat 1 UU Pengadilan Pajak juga terdapat fungsi pengawasan atas Kuasa Hukum dibebankan pada Pengadilan Pajak. Hal-hal tersebut mengemuka dalam suatu seminar tanggal 11 November 2003 tentang Pengadilan Pajak di Jakarta.
Terlepas apa pun jawaban instansi perpajakan berwenang, secara faktual yuridis, UU No. 24 Tahun 2002 tidak mewajibkan Kuasa Hukum untuk mengantongi izin advokat sebagaimana diatur UU Advokat. Selain itu UU Advokat juga tidak menjelaskan status dari fungsi pengawasan oleh Pengadilan Pajak, apakah setingkat atau lebih tinggi dari pengawasan yang dilakukan oleh organisasi advokat atau berada di luar cakupan UU Pengadilan Pajak. Tetapi secara gramatikal, jelas terlihat bahwa pengawasan dari organisasi advokat bukan merupakan suatu hal utama. Mekanisme seorang Kuasa Hukum di Pengadilan Pajak adalah orang terkait memiliki kemampuan di bidang perpajakan yang diindikasikan dengan brevet dan akan berada di bawah pengawasan Pengadilan Pajak. Meskipun dapat saja dipergunakan adagium lex posteriori derogat lex aposteriori, tetapi akan menjadi riskan karena UU Advokat mengatur praktek pemberi jasa hukum secara umum sedangkan pasal terkait pada UU Pengadilan Pajak mengatur praktek pemberi jasa hukum dalam ruang lingkup lebih sempit yaitu di Pengadilan Pajak.
Jika melihat beberapa peraturan perundang-undangan lain seperti Tindak Pidana Korupsi dan Mahkamah Konstitusi, maka terlihat jelas hanya UU tentang Pengadilan Pajak yang mencantumkan kriteria pengawasan Pengadilan Pajak atas Kuasa Hukum (Pengacara). UU No.30 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi pun tidak memberikan kewenangan kepada Pengadilan Korupsi untuk melakukan pengawasan terhadap Kuasa Hukum sebagaimana hal tersebut diamanatkan oleh UU Pengadilan Pajak untuk melakukan pengawasan. Mahkamah Konstitusi pun sama sekali tidak mensyaratkan kriteria kuasa hukum yang dapat beracara di depan Majelis seperti berpengetahuan luas dan ahli tentang masalah tata negara. Sesungguhnya masalah korupsi dan ketatanegaraan pun tidak kalah peliknya dengan perpajakan, mengapa hanya perpajakan yang mencantumkan kriteria dan pengawasan atas Kuasa Hukum?
Penampakan pengawasan Kuasa Hukum oleh Pengadilan Pajak harus diakui menimbulkan pertanyaan tersendiri. Hal ini karena badan peradilan Pajak secara realitas yuridis memiliki kewenangan lebih tinggi dibandingkan badan peradilan lain yang tercantum dalam pasal 24 ayat 2 UUD1945 seperti peradilan umum dan Mahkamah Konstitusi. Harus dipertanyakan kembali bagaimana sebenarnya fungsi kewenangan pengawasan yang dimiliki oleh organisasi advokat. Akankah pengadilan-pengadilan lain di masa mendatang akan juga mengadakan pengawasan terhadap advokat? Jika demikian adanya maka nasib dunia huku mengikuti jejak langkah dunia pendidikan yang kebijakannya selalu mengikuti arah angin berhembus. Para advokat pun akan bernasib bak buih ditengah lautan, selalu terombang-ambing tak tentu arah.
Jadi sebenarnya apa yang terjadi pada masa lalu, ketika beberapa pengacara yang merasa tidak nyaman kemudian hengkang dari organisasi profesinya dan membentuk yang baru, menemukan cara lain untuk mengulanginya. Para pengacara tersebut dapat melakukan teknik hit and run. Mereka dapat membentuk lebih dari satu organisasi profesi pengacara perpajakan tetapi juga memberikan jasa hukum non-perpajakan. Surat ijin advokat pun dapat diperoleh karena tidak ada larangan untuk merangkap keanggotan organisasi profesi advokat dan organisasi profesi kuasa hukum pajak. Permasalahan terjadi ketika seorang pengacara yang hanya berada di bawah pengawasan pengadilan pajak digugat di pengadilan negeri oleh kliennya karena perbuatan melawan hukum. Meski advokat dilindungi oleh UU 18 Tahun 2003 dalam menjalankan profesinya tapi bagaimana dengan pengacara pajak? Oleh karena pemberian jasa hukum oleh orang yang tidak memiliki izin advokat dapat dikenai pidana, tapi apakah sanksi tersebut juga mencakup pengacara pajak? Lalu bagaimanakah pengadilan negeri memeriksa gugatan tersebut, karena meski menurut UU Advokat pengacara tersebut sebenarnya tanpa gugatan dari si klien pun tidak boleh memberikan jasa hukum karena ketiadaan izin tapi ternyata berada di bawah pengawasan Pengadilan Pajak sesuai UU No.14 Tahun 2002? Apakah gugatan tersebut harus diserahkan ke pengadilan pajak walau pun tugas dan kewenangannya sebatas memeriksa dan memutus sengketa pajak sesuai pasal 31 ayat 1 UU No.14 Tahun 2001? Atau gugatan tersebut kemungkinan oleh Pengadilan Pajak dianggap masuk wilayah perpajakan karena menyangkut bagaimana si pengacara tersebut menjalankan profesinya di sektor perpajakan?
Jadi sesungguhnya secara eksplisit terlihat bahwa yurisdiksi UU Advokat tidak mencakup Pengadilan Pajak. Ketiadaan izin Seorang konsultan hukum sesuai UU Advokat tidak akan melanggar UU tentang Pengadilan Pajak untuk menjadi kuasa hukum di Pengadilan Pajak. Tetapi kegagalan pemenuhan pasal 31 ayat 2 oleh kuasa hukum yang mengantongi izin advokat dapat berakibat penolakan Pengadilan Pajak untuk dapat melakukan pendampingan.
Qualifikasi memiliki pengetahuan dan keahlian tentang perundang-undangan perpajakan paling tidak diindikasikan oleh brevet yang harus diperoleh dengan mengikuti kursus di lembaga terkait. Apa yang terjadi kalau suatu kantor hukum karena biasa mengurus segala permasalahan kliennya tiba-tiba dalam waktu singkat diminta mengajukan gugatan ke pengadilan pajak sedangkan tidak ada seorang pun di kantor tersebut memiliki brevet?
Terdapat dua kemungkinan jawaban atas pertanyaan di atas. Pasal 34 ayat 2 huruf b dapat menjadi pasal karet ketika dikaitkan dengan fungsi pengawasan pengadilan pajak atas kuasa hukum. Hal ini karena kriteria pengawasan, sesuai pasal 32 ayat 2 UU No.14 Tahun 2002, diatur oleh ketua pengadilan pajak. Rambu-rambu bagi Ketua Pengadilan dalam memformulasikan sebatas mana pengawasan dapat dilakukan dan apa saja yang sewajarnya dipenuhi oleh kuasa hukum, tidak ditentukan secara jelas. Dapat saja terjadi kuasa hukum tersebut ditolak untuk beracara di Pengadilan Pajak karena ketiadaan brevet. Tetapi tidak tertutup kemungkinan diadakan tes kualifikasi berdasarkan Keputusan Ketua Pengadilan terhadap kuasa hukum terkait agar tetap dapat mendampingi kliennya. Tentunya tes tersebut dapat menjadi sangat menyulitkan bagi si kuasa hukum mengingat waktunya juga tersita untuk mempelajari kasus dan pengajuan gugatan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan apakah pengadilan pajak benar-benar sangat istimewa?
Pengadilan Pajak, sesuai pasal 5 ayat 1 dan 2 UU Pengadilan Pajak, berada di bawah binaan Mahkamah Agung dan Departemen Keuangan. Berbeda halnya dengan Mahkamah Konstitusi yang tidak berada di bawah pembinaan instansi apa pun. Status Mahkamah Konstitusi pun sebagai lembaga negara dan para hakimnya merupakan pejabat negara. Sedangkan Hakim Pengadilan Pajak statusnya bukan pejabat negara dan juga bukan pegawai negeri. Pegawai negeri yang diangkat menjadi hakim pun tidak otomatis kehilangan statusnya ketika tidak lagi menjabat hakim pengadilan pajak. Jadi status hakimnya pun terkesan berada di “twilight zone”. Produk hukumnya pun tidak jauh berbeda. Pengadilan Pajak, menurut pendapat Tri Hayati dalam suatu seminar di Jakarta, dapat digolongkan berada dalam lingkungan peradilan Tata Usaha Negara karena objek sengketanya adalah Keputusan aparat perpajakan. Aparat perpajakan secara struktural dan organisasional pun berada di bawah departemen keuangan yang notabene merupakan instansi pemerintah dan putusannya dapat dijadikan objek gugatan TUN. Kenyataannya pasal 77 UU No.14 Tahun 2002 menutup kemungkinan bagi pencari keadilan mengajukan putusan pengadilan pajak ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Penampakan ini menunjukkan bahwa akan selalu ada pengecualian dalam implementasi suatu undang-undang di Indonesia termasuk UU tentang Advokat.
Tidak tertutup kemungkinan terdapat hambatan-hambatan lain terhadap keberlakuan UU Advokat selain hambatan yuridis sebagaimana terdapat pada UU Pengadilan Pajak. Hambatan lain berkaitan dengan lingkup pengetahuan dan keahlian yang bersifat spesifik. Sebab secara umum seorang yang berpraktek di bidang hukum dapat diklasifikasikan dalam dua rumpun besar yaitu praktisi di pengadilan dan praktisi dalam bidang hukum tertentu. Praktisi di Pengadilan konteksnya terkait dengan mendampingi pihak yang berkepentingan dalam menjalani pemeriksaan atau aktifitas lainnya di instansi yang berwenang termasuk Pengadilan. Sedangkan praktisi bidang hukum tertentu seperti project finance, pertambangan dan perminyakan serta sebagai profesi penunjang di Pasar Modal. Secara alamiah kedua rumpun tersebut memliki kavling tersendiri. Meski pun cukup banyak yang mencari makan di kedua lahan tersebut, tapi sulit menemukan yang pengalaman, kompetensi dan pengetahuanserta reputasinya diakui baik sebagai konsultan hukum maupun sebagai pengacara. Kantor Hukum Hotman Paris banyak dikenal sebagai Pengacara yang memenangkan banyak perkara di Pengadilan. Sedangkan Law Firm seperti LGS, SSEK dan HHP lebih dikenal sebagai konsultan hukum untuk IPO, Right Issue dan corporate action lainnya.
Secara jujur harus diakui bahwa UU Advokat menjadi “Landmark” bagi ekspansi bisnis para pemberi jasa hukum senior yang dulunya biasa dikenal sebagai Pengacara atas Konsultan Hukum. Sebelum lahir UU advokat, seorang sarjana hukum baru lulus pun dapat saja langsung menyewa ruang perkantoran dan menjadikan dirinya sebagai seorang konsultan hukum. Berbeda dengan Pengacara yang terlebih dahulu harus memiliki SKPT atau SK Menkeh. Hal tak terbantahkan adalah realitas bahwa kantor konsultan hukum dengan adanya UU Advokat harus mempunyai lebih banyak personil yang memiliki izin advokat. Saat disatukannya dunia Kepengacaraan dan dunia Konsultan Hukum yang salah satu bagiannya saling beririsan, secara prosedural dengan adanya izin advokat para pengacara akan “on the road” lebih awal dibandingkan konsultan hukum terlebih yang tiada satu pun personilnya memiliki izin advokat.
Tetapi khasiat UU Advokat (dengan asumsi tidak mengalami amandemen) masih harus dilihat seiring berlalunya waktu, apakah akan menciptakan dunia hukum yang lebih baik atau alat legitimasi kegiatan monopolistik pemberian jasa hukum oleh kalangan tertentu. Harapan yang terbaik adalah UU tersebut diamandemen dengan menghilangkan waktu magang 2 tahun di kantor hukum dan keharusan adanya surat izin advokat untuk memberikan jasa hukum di luar pengadilan yang akan mempersulit program pendampingan oleh Lembaga Bantuan Hukum atas warga yang membutuhkan. Selain itu sebaiknya harus terdapat kuota bagi pemberian jasa cuma-cuma oleh Advokat seperti 10 perkara selama 3 bulan kalau UU Advokat tidak diamandemen. Hal ini penting untuk lebih mengangkat sisi advokat sebagai makhluk sosial yang selama ini lebih terkesan sebagai makhluk ekonomi. Tugas ini pun tidak boleh dialihkan antara lain dengan membuat lembaga bantuan hukum. Hal ini mengakibatkan personil di kantor terkait menjadi kurang memiliki sense of humanity karena kehidupan kesehariannya terisi dengan praktek hukum berdasarkan fee serta agar mendapatkan bonus akhir tahun baik berupa pesiar dengan kapal mewah maupun setumpuk uang untuk kesenangan sesaat. Jika setiap kantor pengacara menangani kasus minimal 10 perkara selama tiga bulan, pandangan bahwa hukum hanya ada bagi para pemilik modal dan atau pemilik kekuasaan akan mengalami sedikit pergeseran.
Oleh karena itu langkah APHI sudah seharusnya mendapat dukungan banyak pihak bahwa UU Advokat benar-benar harus diamandemen agar lebih memiliki peran konstruktif bagi perkembangan dunia hukum di Indonesia.
(tulisan ini komentar atas “Sejuta harap dan Cemas Advokat tanpa izin Praktek pada 2004 tertanggal 23 januari 2004)
Judul di atas mungkin bagi para pengacara senior terkesan nyeleneh, karena ditulis oleh seorang freshgraduate dengan Indeks Prestasi sekedarnya. Tetapi secara jujur memang harus diakui bahwa UU Advokat tersebut memang harus diamandemen, entah karena kesadaran pembuat undang-undang atau putusan dari Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang tengah diusahakan APHI.
Urgensi adanya amandemen tersebut karena secara yuridis-faktual dalam realitas dunia hukum Indonesia terdapat hal-hal yang membuat keberadaan UU tersebut memberikan dampak negatif bagi perkembangan dunia hukum di Indonesia, kecuali bagi para pengacara senior dengan pengetahuan hukum masa lalu dan sebatas hukum acara di Pengadilan.
Pada pasal 1 angka 1 dan 2 UU Advokat mengkriteriakan seorang advokat sebagai pemberi jasa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien di dalam dan di luar pengadilan sesuai UU tersebut. Kriteria tersebut menjadi elemen penting bagi pasal 31. Pertanyaannya adalah apakah pasal itu berlaku efektif baik di dalam dan di luar pengadilan?
Adagium lex spesialis derogat lex generalis ternyata berlaku juga terhadap UU ini. Hal ini antara lain terindikasi dengan melihat pasal 34 ayat 2 UU No.24 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Pada pasal tersebut tidak ada ketentuan yang mensyaratkan adanya surat izin advokat bagi kuasa hukum yang mendampingi para pihak di Pengadilan Pajak. Selain itu pada pasal 32 ayat 1 UU Pengadilan Pajak juga terdapat fungsi pengawasan atas Kuasa Hukum dibebankan pada Pengadilan Pajak. Hal-hal tersebut mengemuka dalam suatu seminar tanggal 11 November 2003 tentang Pengadilan Pajak di Jakarta.
Terlepas apa pun jawaban instansi perpajakan berwenang, secara faktual yuridis, UU No. 24 Tahun 2002 tidak mewajibkan Kuasa Hukum untuk mengantongi izin advokat sebagaimana diatur UU Advokat. Selain itu UU Advokat juga tidak menjelaskan status dari fungsi pengawasan oleh Pengadilan Pajak, apakah setingkat atau lebih tinggi dari pengawasan yang dilakukan oleh organisasi advokat atau berada di luar cakupan UU Pengadilan Pajak. Tetapi secara gramatikal, jelas terlihat bahwa pengawasan dari organisasi advokat bukan merupakan suatu hal utama. Mekanisme seorang Kuasa Hukum di Pengadilan Pajak adalah orang terkait memiliki kemampuan di bidang perpajakan yang diindikasikan dengan brevet dan akan berada di bawah pengawasan Pengadilan Pajak. Meskipun dapat saja dipergunakan adagium lex posteriori derogat lex aposteriori, tetapi akan menjadi riskan karena UU Advokat mengatur praktek pemberi jasa hukum secara umum sedangkan pasal terkait pada UU Pengadilan Pajak mengatur praktek pemberi jasa hukum dalam ruang lingkup lebih sempit yaitu di Pengadilan Pajak.
Jika melihat beberapa peraturan perundang-undangan lain seperti Tindak Pidana Korupsi dan Mahkamah Konstitusi, maka terlihat jelas hanya UU tentang Pengadilan Pajak yang mencantumkan kriteria pengawasan Pengadilan Pajak atas Kuasa Hukum (Pengacara). UU No.30 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi pun tidak memberikan kewenangan kepada Pengadilan Korupsi untuk melakukan pengawasan terhadap Kuasa Hukum sebagaimana hal tersebut diamanatkan oleh UU Pengadilan Pajak untuk melakukan pengawasan. Mahkamah Konstitusi pun sama sekali tidak mensyaratkan kriteria kuasa hukum yang dapat beracara di depan Majelis seperti berpengetahuan luas dan ahli tentang masalah tata negara. Sesungguhnya masalah korupsi dan ketatanegaraan pun tidak kalah peliknya dengan perpajakan, mengapa hanya perpajakan yang mencantumkan kriteria dan pengawasan atas Kuasa Hukum?
Penampakan pengawasan Kuasa Hukum oleh Pengadilan Pajak harus diakui menimbulkan pertanyaan tersendiri. Hal ini karena badan peradilan Pajak secara realitas yuridis memiliki kewenangan lebih tinggi dibandingkan badan peradilan lain yang tercantum dalam pasal 24 ayat 2 UUD1945 seperti peradilan umum dan Mahkamah Konstitusi. Harus dipertanyakan kembali bagaimana sebenarnya fungsi kewenangan pengawasan yang dimiliki oleh organisasi advokat. Akankah pengadilan-pengadilan lain di masa mendatang akan juga mengadakan pengawasan terhadap advokat? Jika demikian adanya maka nasib dunia huku mengikuti jejak langkah dunia pendidikan yang kebijakannya selalu mengikuti arah angin berhembus. Para advokat pun akan bernasib bak buih ditengah lautan, selalu terombang-ambing tak tentu arah.
Jadi sebenarnya apa yang terjadi pada masa lalu, ketika beberapa pengacara yang merasa tidak nyaman kemudian hengkang dari organisasi profesinya dan membentuk yang baru, menemukan cara lain untuk mengulanginya. Para pengacara tersebut dapat melakukan teknik hit and run. Mereka dapat membentuk lebih dari satu organisasi profesi pengacara perpajakan tetapi juga memberikan jasa hukum non-perpajakan. Surat ijin advokat pun dapat diperoleh karena tidak ada larangan untuk merangkap keanggotan organisasi profesi advokat dan organisasi profesi kuasa hukum pajak. Permasalahan terjadi ketika seorang pengacara yang hanya berada di bawah pengawasan pengadilan pajak digugat di pengadilan negeri oleh kliennya karena perbuatan melawan hukum. Meski advokat dilindungi oleh UU 18 Tahun 2003 dalam menjalankan profesinya tapi bagaimana dengan pengacara pajak? Oleh karena pemberian jasa hukum oleh orang yang tidak memiliki izin advokat dapat dikenai pidana, tapi apakah sanksi tersebut juga mencakup pengacara pajak? Lalu bagaimanakah pengadilan negeri memeriksa gugatan tersebut, karena meski menurut UU Advokat pengacara tersebut sebenarnya tanpa gugatan dari si klien pun tidak boleh memberikan jasa hukum karena ketiadaan izin tapi ternyata berada di bawah pengawasan Pengadilan Pajak sesuai UU No.14 Tahun 2002? Apakah gugatan tersebut harus diserahkan ke pengadilan pajak walau pun tugas dan kewenangannya sebatas memeriksa dan memutus sengketa pajak sesuai pasal 31 ayat 1 UU No.14 Tahun 2001? Atau gugatan tersebut kemungkinan oleh Pengadilan Pajak dianggap masuk wilayah perpajakan karena menyangkut bagaimana si pengacara tersebut menjalankan profesinya di sektor perpajakan?
Jadi sesungguhnya secara eksplisit terlihat bahwa yurisdiksi UU Advokat tidak mencakup Pengadilan Pajak. Ketiadaan izin Seorang konsultan hukum sesuai UU Advokat tidak akan melanggar UU tentang Pengadilan Pajak untuk menjadi kuasa hukum di Pengadilan Pajak. Tetapi kegagalan pemenuhan pasal 31 ayat 2 oleh kuasa hukum yang mengantongi izin advokat dapat berakibat penolakan Pengadilan Pajak untuk dapat melakukan pendampingan.
Qualifikasi memiliki pengetahuan dan keahlian tentang perundang-undangan perpajakan paling tidak diindikasikan oleh brevet yang harus diperoleh dengan mengikuti kursus di lembaga terkait. Apa yang terjadi kalau suatu kantor hukum karena biasa mengurus segala permasalahan kliennya tiba-tiba dalam waktu singkat diminta mengajukan gugatan ke pengadilan pajak sedangkan tidak ada seorang pun di kantor tersebut memiliki brevet?
Terdapat dua kemungkinan jawaban atas pertanyaan di atas. Pasal 34 ayat 2 huruf b dapat menjadi pasal karet ketika dikaitkan dengan fungsi pengawasan pengadilan pajak atas kuasa hukum. Hal ini karena kriteria pengawasan, sesuai pasal 32 ayat 2 UU No.14 Tahun 2002, diatur oleh ketua pengadilan pajak. Rambu-rambu bagi Ketua Pengadilan dalam memformulasikan sebatas mana pengawasan dapat dilakukan dan apa saja yang sewajarnya dipenuhi oleh kuasa hukum, tidak ditentukan secara jelas. Dapat saja terjadi kuasa hukum tersebut ditolak untuk beracara di Pengadilan Pajak karena ketiadaan brevet. Tetapi tidak tertutup kemungkinan diadakan tes kualifikasi berdasarkan Keputusan Ketua Pengadilan terhadap kuasa hukum terkait agar tetap dapat mendampingi kliennya. Tentunya tes tersebut dapat menjadi sangat menyulitkan bagi si kuasa hukum mengingat waktunya juga tersita untuk mempelajari kasus dan pengajuan gugatan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan apakah pengadilan pajak benar-benar sangat istimewa?
Pengadilan Pajak, sesuai pasal 5 ayat 1 dan 2 UU Pengadilan Pajak, berada di bawah binaan Mahkamah Agung dan Departemen Keuangan. Berbeda halnya dengan Mahkamah Konstitusi yang tidak berada di bawah pembinaan instansi apa pun. Status Mahkamah Konstitusi pun sebagai lembaga negara dan para hakimnya merupakan pejabat negara. Sedangkan Hakim Pengadilan Pajak statusnya bukan pejabat negara dan juga bukan pegawai negeri. Pegawai negeri yang diangkat menjadi hakim pun tidak otomatis kehilangan statusnya ketika tidak lagi menjabat hakim pengadilan pajak. Jadi status hakimnya pun terkesan berada di “twilight zone”. Produk hukumnya pun tidak jauh berbeda. Pengadilan Pajak, menurut pendapat Tri Hayati dalam suatu seminar di Jakarta, dapat digolongkan berada dalam lingkungan peradilan Tata Usaha Negara karena objek sengketanya adalah Keputusan aparat perpajakan. Aparat perpajakan secara struktural dan organisasional pun berada di bawah departemen keuangan yang notabene merupakan instansi pemerintah dan putusannya dapat dijadikan objek gugatan TUN. Kenyataannya pasal 77 UU No.14 Tahun 2002 menutup kemungkinan bagi pencari keadilan mengajukan putusan pengadilan pajak ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Penampakan ini menunjukkan bahwa akan selalu ada pengecualian dalam implementasi suatu undang-undang di Indonesia termasuk UU tentang Advokat.
Tidak tertutup kemungkinan terdapat hambatan-hambatan lain terhadap keberlakuan UU Advokat selain hambatan yuridis sebagaimana terdapat pada UU Pengadilan Pajak. Hambatan lain berkaitan dengan lingkup pengetahuan dan keahlian yang bersifat spesifik. Sebab secara umum seorang yang berpraktek di bidang hukum dapat diklasifikasikan dalam dua rumpun besar yaitu praktisi di pengadilan dan praktisi dalam bidang hukum tertentu. Praktisi di Pengadilan konteksnya terkait dengan mendampingi pihak yang berkepentingan dalam menjalani pemeriksaan atau aktifitas lainnya di instansi yang berwenang termasuk Pengadilan. Sedangkan praktisi bidang hukum tertentu seperti project finance, pertambangan dan perminyakan serta sebagai profesi penunjang di Pasar Modal. Secara alamiah kedua rumpun tersebut memliki kavling tersendiri. Meski pun cukup banyak yang mencari makan di kedua lahan tersebut, tapi sulit menemukan yang pengalaman, kompetensi dan pengetahuanserta reputasinya diakui baik sebagai konsultan hukum maupun sebagai pengacara. Kantor Hukum Hotman Paris banyak dikenal sebagai Pengacara yang memenangkan banyak perkara di Pengadilan. Sedangkan Law Firm seperti LGS, SSEK dan HHP lebih dikenal sebagai konsultan hukum untuk IPO, Right Issue dan corporate action lainnya.
Secara jujur harus diakui bahwa UU Advokat menjadi “Landmark” bagi ekspansi bisnis para pemberi jasa hukum senior yang dulunya biasa dikenal sebagai Pengacara atas Konsultan Hukum. Sebelum lahir UU advokat, seorang sarjana hukum baru lulus pun dapat saja langsung menyewa ruang perkantoran dan menjadikan dirinya sebagai seorang konsultan hukum. Berbeda dengan Pengacara yang terlebih dahulu harus memiliki SKPT atau SK Menkeh. Hal tak terbantahkan adalah realitas bahwa kantor konsultan hukum dengan adanya UU Advokat harus mempunyai lebih banyak personil yang memiliki izin advokat. Saat disatukannya dunia Kepengacaraan dan dunia Konsultan Hukum yang salah satu bagiannya saling beririsan, secara prosedural dengan adanya izin advokat para pengacara akan “on the road” lebih awal dibandingkan konsultan hukum terlebih yang tiada satu pun personilnya memiliki izin advokat.
Tetapi khasiat UU Advokat (dengan asumsi tidak mengalami amandemen) masih harus dilihat seiring berlalunya waktu, apakah akan menciptakan dunia hukum yang lebih baik atau alat legitimasi kegiatan monopolistik pemberian jasa hukum oleh kalangan tertentu. Harapan yang terbaik adalah UU tersebut diamandemen dengan menghilangkan waktu magang 2 tahun di kantor hukum dan keharusan adanya surat izin advokat untuk memberikan jasa hukum di luar pengadilan yang akan mempersulit program pendampingan oleh Lembaga Bantuan Hukum atas warga yang membutuhkan. Selain itu sebaiknya harus terdapat kuota bagi pemberian jasa cuma-cuma oleh Advokat seperti 10 perkara selama 3 bulan kalau UU Advokat tidak diamandemen. Hal ini penting untuk lebih mengangkat sisi advokat sebagai makhluk sosial yang selama ini lebih terkesan sebagai makhluk ekonomi. Tugas ini pun tidak boleh dialihkan antara lain dengan membuat lembaga bantuan hukum. Hal ini mengakibatkan personil di kantor terkait menjadi kurang memiliki sense of humanity karena kehidupan kesehariannya terisi dengan praktek hukum berdasarkan fee serta agar mendapatkan bonus akhir tahun baik berupa pesiar dengan kapal mewah maupun setumpuk uang untuk kesenangan sesaat. Jika setiap kantor pengacara menangani kasus minimal 10 perkara selama tiga bulan, pandangan bahwa hukum hanya ada bagi para pemilik modal dan atau pemilik kekuasaan akan mengalami sedikit pergeseran.
Oleh karena itu langkah APHI sudah seharusnya mendapat dukungan banyak pihak bahwa UU Advokat benar-benar harus diamandemen agar lebih memiliki peran konstruktif bagi perkembangan dunia hukum di Indonesia.