Wednesday, October 15, 2008

Resiko Sanksi Perpajakan bagi Personil BI pasca pengesahan UU No.36 Tahun 2008

Oleh: Satrio Pramono


Pada akhirnya wacana pengenaan pajak terhadap surplus Bank Indonesia terealisir setelah disahkannya UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 4 angka 1 huruf S UU No.36 Tahun 2008 tersebut mencantumkan surplus bank Indonesia sebagai salah satu objek pajak penghasilan.
Berbeda dengan ketidaksinkronan antara UU KPK dan UU BI di mana UU BI mensyaratkan proses hukum terhadap anggota Dewan Gubernur mewajibkan adanya persetujuan tertulis dari Presiden dan tidak memberikan alternatif lain, terkait dengan pajak penghasilan UU No.3 Tahun 2004 pasal II angka 4 memang memberikan pembebasan pajak penghasilan secara limitatif atas surplus yang diperoleh Bank Indonesia.

Pasal II angka 4
“Sepanjang belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa surplus Bank Indonesia dikenakan pajak penghasilan, maka berdasarkan Undang-undang ini surplus Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan”

Sehingga dapat terlihat bahwa antara UU BI dan UU Pajak Penghasilan bersifat saling terkait tidak bertentangan dimana BI hanya akan dibebaskan dari pengenaan pajak penghasilan sepanjang tidak ada ketentuan perundang-undangan dikemudian hari yang tidak mengenakan pajak penghasilan terhadap surplus yang dihasilkan oleh BI. Hanya saja terlalu ringkasnya pasal II angka 4 berpotensi merapuhkan posisi Dewan Gubernur sebagai pemangku kewenangan tertinggi di Bank Indonesia. Hal ini karena tidak terbatasinya penyerahan pengenaan pajak penghasilan atas surplus tersebut membuka resiko baru bagi anggota Dewan Gubernur khususnya terkait dengan pidana pajak.
Proses perumusan Pasal II angka 4 sepertinya luput dari perhatian tim BI ketika merumuskan UU No.3 Tahun 2004 sehingga mengakibatkan tidak teridentifikasinya potensi pidana perpajakan termasuk paksa badan yang dapat dikenai terhadap anggota Dewan Gubernur. Tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa akhir rumusan pasal tersebut merupakan hasil kompromi win-win solution dimana BI akhirnya tidak dikenai pajak penghasilan meski bersifat hanya sementara sampai adanya undang-undang yang mengatur hal tersebut.
Tetapi patut disayangkan bahwa tidak dimuatnya pembatasan pertanggungjawaban atas pengenaan pajak penghasilan tersebut menyebabkan BI dalam perspektif perpajakan diperlakukan layaknya sector swasta termasuk dalam pertanggungjawaban secara pidana.
Hal ini dapat dilihat dari keseluruhan UU No.36 Tahun 2008 tersebut yang hanya memberikan pengaturan secara ringkas tentang pengenaan pajak atas surplus Bank Indonesia. Ringkasnya pengaturan tersebut menyiratkan bahwa secara perpajakan, Bank Indonesia sepenuhnya tergantung pada kebijakan Dirjen Pajak.
Tidak dirumuskannya ketentuan terhadap pengenaan pajak atas surplus BI khususnya terkait dengan batas minimal tanggung jawab perpajakan yang diemban oleh anggota Dewan Gubernur, mengakibatkan BI tidak memiliki posisi tawar dalam pengenaan pajak tersebut khususnya dalam tataran Peraturan Pemerintah untuk pengenaan atas surplus tersebut, BI hanya dapat memasrahkan pembebanan kewajiban yang akan dikenakan terhadap BI. Oleh karena itu perlu dirumuskan secermat mungkin pasca dikeluarkannya Peraturan Pemerintah tentang Pengenaan Pajak Penghasilan tersebut khususnya untuk mengantisipasi potensi sanksi khususnya pidana yang dapat dikenakan terhadap personil BI terkait dengan prosedur pelaporan dan pemotongan pajak penghasilan terebut, yang mana BI digolongkan sebagai Wajib Pajak Badan dalam UU Pajak Penghasilan tersebut sehingga segala hak dan kewajiban termasuk resiko sanksi yang dikenakan terhadap Wajib Pajak Badan dapat juga dikenakan terhadap Bank Indonesia.