Monday, October 13, 2008

Conjealed Injustice dalam Kebijakan Pemerintahan SBY-JK

Oleh: Satrio Pramono


“…Every legal order has a repressive potential because it is always at some point bound to the status quo and, in offering a mantle of authority, makes power more effective.”[1]


Penggalan kutipan di atas merefleksikan bahwa kekuasaan akan selalu berusaha untuk tetap dapat menjalankan kewenangannya secara efektif, atau setidak-tidaknya berusaha untuk menjaga dalam posisi status quo.
Jadi merupakan hal yang wajar ketika SBY-JK melakukan reshuffle kabinet, yang mana tindakan tersebut tidak hanya sekedar untuk memperbaiki kinerja pemerintahan, melainkan juga untuk meredam kegelisahan yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan kondisi perekonomian yang tampak menurun dengan adanya kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan di sektor ekonomi.[2]
Tentunya bukan lah keinginan SBY-JK untuk membiarkan kebijakan kenaikan BBM menjadi bumerang yang dapat menjatuhkan Pemerintahan. Kebijakan menaikkan harga BBM yang terakhir secara radikal paling tidak telah menjadi bahan pertimbangan segi positif dan negatif berkaitan dengan kontinuitas jalannya pemerintahan. Bukan lah hal yang tidak mungkin bahwa SBY-JK telah mempertimbangkan sebelumnya kalau sekiranya kenaikkan harga BBM menimbulkan keterpurukan dan tim ekonomi tidak dapat memperbaiki, maka jalan terakhir yang ada adalah reshuffle, di mana merupakan hal yang wajar ketika timbul suatu polemik, untuk meredam agar tidak meluas, harus ada yang dikorbankan demi kepentingan yang lebih besar (tetap berjalannya pemerintahan SBY-JK).
Meski pun perombakan tim ekonomi tidak dapat memuaskan semua pihak, tindakan tersebut paling tidak membuat banyak kalangan mengalami pergeseran wacana dari desakan perombakan kabinet menjadi desakan bagi tim ekonomi baru untuk dapat memperbaiki kondisi perekonomian.[3] Tentu keadaan ini terkesan tidak adil bagi yang terkena reshuffle karena tindakan tersebut tidak menimbulkan perbaikan kondisi perekonomian. Tetapi para korban pun tentunya memahami bahwa jabatan menteri terutama di tim ekonomi di era keterbukaan sekarang ini merupakan “kursi panas” yang setiap saat dapat tergantikan terlepas layak atau tidaknya pergantian tersebut demi mempertahankan jalannya pemerintahan dan menjaga efektifitas kewenangan, yang mana karakter ini disebut Congealed Injustice.[4]
Karakter ini dapat diinterpretasikan bahwa suatu pemerintahan memiliki karakteristik untuk dapat bertindak represif dalam mempertahankan kekuasaan dan lebih mengefektifkan dalam pelaksanaan kewenangan yang dimiliki. Tindakan represif tentunya tidak hanya sebatas pembunuhan terhadap aktifis maupun tindak kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap para demonstran. Tindakan represif dapat diartikan secara luas tidak sebatas tindakan pemerintah terhadap rakyatnya dalam bentuk tindak kekerasan fisik, melainkan juga tindakan represif pemerintah sebagai penguasa terhadap siapa pun termasuk menteri untuk menjaga keberlangsungan hidupnya dan lebih mengefektifkan kekuasaannya.
Pada tahun 2002, dua anak Presiden Korea Selatan Kim Dae Jung yaitu Kim Hong-Up dan Kim Hong-gul diseret ke Pengadilan karena kasus korupsi.[5] Peristiwa tersebut disatu sisi dapat dilihat sebagai perwujudan dari supremasi hukum, di mana siapa pun yang melanggar ketentuan hukum harus diproses untuk dilihat sejauh mana kesalahannya melalui persidangan pengadilan.
Tetapi harus dilihat pula posisi Kim Dae Jung yang tidak hanya sebagai Presiden Korea Selatan dan pimpinan dari Partai Demokratik Milenium melainkan juga sebagai kepala keluarga yang di Korea Selatan dikenal bersih dan tidak pernah melanggar hukum dan sebagai ayah dari kedua anak tersebut.[6] Sebagai Kepala Keluarga, Kim Dae Jung mempunyai kepentingan untuk menjaga citra keluarganya untuk tetap dikenal bersih dan tidak pernah melanggar hukum. Hal ini paling tidak membuat Kim akan selalu berusaha menjaga citra tersebut yang antara lain dapat dilakukan dengan mencegah dan mengatasi keadaan yang dapat merusak citra keluarganya seperti menghambat proses bahkan menekan dihentikannya penyidikan atas kasus yang melibatkan kedua anaknya. Selain itu sebagai seorang ayah tentu lah setidak-tidaknya akan berusaha membantu anaknya ketika berada dalam kesusahan dalam hal ini akan berusaha mencegah agar sang anak tidak sampai masuk penjara, terlepas seburuk apa pun kelakuan sang anak, yang mana hal ini merupakan suatu kewajaran. Ternyata Presiden Kim tidak melakukan intervensi terhadap proses hukum yang dijalani kedua anaknya. Tindakan ini tidak berarti bahwa Presiden Kim tidak memiliki rasa sayang terhadap anak dan atau hanya mementingkan dirinya semata. Keadaan ini dapat dilihat sebagai kesadaran dari Presiden Kim bahwa kepentingan negara dan partai yang dipimpinnya lebih besar dari kepentingan diri dan keluarganya.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa Presiden Kim memiliki pertimbangan kalau ia melakukan intervensi terhadap proses hukum yang berjalan, maka dapat mengganggu kelancaran pemerintahan serta efektifitas kewenangan karena reaksi yang timbul akibat intervensi tersebut. Dampak atas intervensi tidak sebatas rusaknya reputasi melainkan menghancurkan citra pemerintahan serta partai yang tengah berkuasa. Jadi dengan tidak melakukan pembelaan terhadap anaknya pun, Presiden Kim sebagai pemegang kekuasaan telah melakukan tindakan represif terhadap sang anak dengan tujuan meminimalisir dampak tindakan sang anak terhadap pemerintahan yang dipimpinnya. Tetapi realitas ini menunjukkan bahwa rejim Presiden Kim tidak menjalankan kepemimpinannya secara represif.[7] Hal ini karena Pemerintahan tidak melakukan tindakan secara aktif untuk mengarahkan agar sang anak dikenai hukuman yang setimpal tetapi tidak melakukan hal apa pun sehingga proses hukum berjalan secara an sich. Sedangkan dari sudut untuk tetap menjaga agar pelaksanaan kewenangan pemerintahan tidak terganggu dan dapat tetap berjalan secara efektif, Pemerintah menghukum siapa pun yang melanggar termasuk anak presiden.[8]
Jadi terdapat dua hal yang memungkinkan dilakukannya suatu tindakan represif, yaitu:
a. untuk menjaga situasi dan kondisi dalam keadaan status quo serta untuk lebih mengefektifkan kewenangan yang dijalankan[9]
b. adanya kepentingan tertentu (interest) yang hendak dijalankan tetapi beresiko tinggi karena dilakukan di luar sistem dan prosedur yang berlaku yang terkesan akan menimbulkan bencana.[10]
Bagaimana kah dengan kebijakan SBY menaikkan harga BBM lebih dari 100% pada tanggal 1 Oktober 2005? Apakah kebijakan tersebut dalam rangka mengamankan kewenangan yang sudah ada atau kah merupakan pelaksanaan yang bersifat “sense of jeopardy”?[11]
Kenaikan harga BBM merupakan konsekwensi logis atas upaya Pemerintah untuk melakukan pencabutan subsidi melalui pengurangan subsidi secara bertahap. Wacana ini sudah sejak lama didesak oleh beberapa pengamat ekonomi yang berpendapat bahwa subsidi BBM membebani anggaran negara terlebih dengan kenaikan harga minyak dunia diluar prediksi yang ditetapkan pada APBN.
Dengan asumsi bahwa orang miskin yang menikmati subsidi BBM tidak lah terlalu banyak, membuat Pemerintah SBY-JK berani menaikkan harga BBM hingga 128%. Hal ini dikemukakan antara lain dalam Warta Pertamina, bahwa berdasarkan hasil survei ekonomi nasional, rumah tangga terkaya menikmati minyak tanah 1 kali lebih banyak, bensin 3 kali lebih banyak dan solar 6 kali lebih banyak dari orang miskin.[12]
Pendapat pro pencabutan subsidi BBM pernah dikemukakan oleh pengamat perminyakan Dr.Kurtubi, yang mengatakan bahwa pada tahun 2001 Indonesia menjual premium di bawah rata-rata harga premium diantara 160 negara dan harga solar di posisi 7 terendah diantara 160 negara, yang mana murahnya harga BBM menyebabkan masyarakat menjadi sangat boros energi.[13]
Tetapi sepertinya Pemerintah terlalu percaya diri untuk menaikkan harga BBM terlalu tinggi baik dalam prosentase jumlah orang miskin yang diklaim bahwa penikmat subsidi adalah orang-orang kaya mau pun anggapan bahwa masyarakat dan dunia usaha masih memiliki kemampuan untuk menerima kenaikan tersebut.
Pemerintah kurang mempertimbangkan faktor bahwa BBM merupakan satu-satunya sumber energi untuk berbagai aktifitas yang dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. BBM juga dipakai oleh PLN untuk menghasilkan listrik bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang bergantung pada PLN sebagai penyedia listrik. Peralatan rumah tangga umumnya memakai listrik sesuai spesifikasi listrik PLN. Dapat dipastikan bahwa kenaikan harga BBM akan meningkatkan ongkos produksi PLN dalam menghasilkan listrik, yang mana makin memperparah kinerja PLN yang sudah parah akibat harga jual listrik di bawah 7 sen dollar Amerika per Kwh pasca krisis moneter. Jadi siapa bilang subsidi hanya dinikmati oleh orang kaya?
Pertanyaan lebih lanjut adalah apakah penduduk Indonesia yang sebagian besar berada di pulau Jawa seluruhnya berada dalam taraf ekonomi yang sejahtera? Lalu perlu dilihat lebih lanjut apakah kesejahteraan itu terjadi karena ditunjang oleh keahlian atau kah antara lain pekerjaan tersebut memiliki komponen BBM yang cukup dominan seperti pembuat krupuk dan sejenisnya. Jika diketahui bahwa banyak industri yang paling tidak 60% komponen produksinya adalah BBM, maka perlu difikirkan untuk mensosialisasikan kebijakan tersebut terlebih dahulu dan menyiapkan sarana dan prasarana agar industri tersebut dapat melakukan konversi ke sumber energi alternatif lainnya sehingga ketika BBM naik sampai lebih dari 100%, industri tersebut tidak akan terpukul yang dapat berakibat phk massal atau merumahkan sebagian besar pegawai.
Faktor lain yang perlu difikirkan adalah bagaimana dengan tingkat penghidupan para buruh sebagai akibat dari kenaikan BBM. Apakah Pemerintah dapat memaksa para pengusaha agar pasca kenaikan BBM gaji buruh dapat disesuaikan baik melalui mekanisme Upah Minimum Provinsi atau cara lainnya?
Komponen hidup buruh tersebut paling tidak adalah makanan dan transportasi, yang mana komponen BBM memiliki peran dominan pada kedua hal tersebut. Kenaikan harga BBM terlalu tinggi akan memberikan multiplier efek yang berdampak memberatkan kehidupan kaum pekerja. Sebelum kenaikan BBM para pekerja tersebut masih sanggup makan tiga kali sehari tanpa menu daging, maka pasca kenaikan BBM mengakibatkan penurunan daya beli dari sisi pekerja karena naiknya ongkos transportasi ke tempat kerja dan harga makanan dan kebutuhan lainnya disebabkan kenaikan pada komponen BBM.
Selain itu perlu juga difikirkan kalangan masyarakat yang bergerak di sektor informal seperti membuka warung kecil-kecilan, warteg dan beragam pedagang makanan, yang mana kenaikan BBM akan menambah ongkos produksi karena diperlukan biaya lebih besar untuk membeli bahan bakar bagi alat pengolah makanan dan bahan baku pembuat makanan. Jika tidak menaikkan harga maka cara yang ditempuh adalah dengan penurunan kualitas atau bahkan yang berbahaya adalah mencari bahan alternatif pengganti yang lebih murah tapi tanpa disadari berbahaya bagi kesehatan manusia seperti menambahkan zat kimia pemanis sebagai pengganti gula.
Suka atau tidak suka, mayoritas masyarakat Indonesia bermukim di pulau Jawa yang berada dalam karakteristik masyarakat perkotaan. Berbeda dengan masyarakat bercorak pedesaan yang dapat segera mengkonversi bahan bakar dari BBM ke ranting-ranting pohon, masyarakat perkotaan tidak lah memiliki banyak akses ke bahan bakar berbasis kayu. Tentu saja di perkotaan pun juga terdapat kayu-kayu tidak terpakai yang berasal dari aktifitas yang sudah selesai, tapi ketersediaannya tidak terdapat di semua tempat dan tidak memungkinkan bagi masyarakat perkotaan yang umumnya bekerja di pabrik mau pun menjaga toko dengan waktu kerja minimal 8 jam sehari untuk pulang kemudian mencari kayu bakar.
Pemerintah pun seharusnya juga menyadari bahwa kenaikan BBM tersebut juga akan memicu kenaikan anggaran bagi instansi Pemerintah dan lembaga Negara yang mana makin banyaknya uang yang beredar di masyarakat menyebabkan terjadinya penurunan nilai uang terhadap barang dan jasa atau dikenal dengan inflasi. Tentu ada mekanisme untuk menahan laju inflasi yaitu dengan cara menarik sebanyak mungkin uang yang beredar di pasar melalui peningkatan bunga SBI. Tetapi Pemerintah pasti juga menyadari bahwa dengan meningkatnya SBI akan berdampak pada makin tingginya suku bunga pinjaman komersial di bank. Tingginya suku bunga pinjaman di bank akan berakibat pada kesulitan bagi sektor swasta nasional dan memperbesar kemungkinan gagal bayar di sektor kartu kredit dan kredit kendaraan bermotor. Situasi seperti ini tentu tidak berdampak konstruktif untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Tetapi harus juga dipahami bahwa Pemerintah dengan segala kondisi dan alternatif tindakan yang tersedia, pada akhirnya langkah paling realistis adalah dengan menaikkan harga BBM terlepas dampaknya ke masyarakat, prioritas utama adalah bagaimana Pemerintah dapat menjalankan Pemerintahannya yang mana Pemerintahan hanya akan berjalan dengan adanya anggaran yang memadai. Inilah Conjealed Injustice dalam kebijakan Pemerintahan Indonesia yang berdampak cukup signifikan di masyarakat.


[1] Philip Nonet and Philip Selznick, Repressive Law, II, in Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, Politik Hukum 3, dikumpulkan oleh Satya Arinanto, Program Pascasarjana FHUI, 2005, hal. 73
[2] antara lain dapat dilihat di http://www.suarapembaruan.com/News/2005/03/04/Ekonomi/ eko05.htm Pemerintah tak mampu Menata Dampak Kenaikan BBM, B-15/ M-11, 4 Maret 2005
[3] http://www.sinarharapan.co.id/berita/0512/06/eko01.html, Perlu koordinasi Tim Ekonomi untuk perbaiki sektor riil, Naomi Siagian, Selasa 6 Desember 2005
[4] Philip Nonet and Philip Selznick , op.cit.,

[5] http://www.transparansi.or.id/berita/berita-agustus2002/berita3_060802.html Menggugah Perhatian, Pengadilan Korupsi di AS dan Korsel, KCM Selasa 6 Agustus 2002
[6]Ibid.,

[7]hal ini sesuai dengan pernyataan: “a repressive regime is one that puts all interests in jeopardy, and especially those not protected by an existing system of privilige and power ( Philip Nonet and Philip Selznick , op.cit. hal.74), yang mana membiarkan proses hukum berjalan merupakan usaha optimal untuk mengamankan kepentingan negara dan politik partai yang dipimpin.
[8] Philip Nonet and Philip Selznick , op.cit.hal.73

[9] Ibid.,
[10]Ibid., hal.74
[11]Ibid., hal.74

[12]http://www.pertamina.com/indonesia/head_office/hupmas/news/Wpertamina/2003/ Januari2003/wp010306.htm, Menyigi Subsidi BBM, Tim We Pe, Warta PT Pertamina (Persero): Warta Utama,

[13]Ibid.,