Oleh: Satrio Pramono
Keadilan Transisional merupakan terminologi yang terkait dengan penegakan Hak Azasi Manusia. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), mendefinisikannya sebagai keberanian politik untuk sekali dan selamanya memutuskan rantai impunitas atas dasar suatu keadilan yang kontekstual yang didambakan rakyat, yaitu keadilan bagi si korban dan hukuman bagi si pelaku.[1]
Bila melihat parameter yang dibuat oleh ELSAM tersebut, sebenarnya terlihat bahwa Transitional Justice yang seharusnya diwujudkan di Indonesia adalah mewujudkan suatu keadilan yang pada masa lalu khususnya sejak era Orde Baru, tidak dapat terealisasi disebabkan oleh situasi dan kondisi pada saat itu tidak memungkinkan untuk terciptanya suatu keadilan atas perlakuan terhadap orang tertentu mau pun kalangan tertentu.
Jadi yang sebenarnya berusaha diwujudkan adalah suatu keadilan sejarah, yaitu berusaha untuk memperbaiki masa lalu bangsa yang kelam dalam bentuk mengusahakan terciptanya keadilan bagi seluruh komponen bangsa yang terlibat pada peristiwa terkait. Tentu saja keadilan sejarah ini harus tetap terjaga sebatas tataran untuk mewujudkan keadilan bukan menjadi sarana untuk melakukan balas dendam sejarah.
Hal ini karena banyak sekali peristiwa masa lalu dalam rentang waktu sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang mencerminkan keberpihakan Negara pada kalangan tertentu yang memegang tampuk kekuasaan pada masa itu. Kalangan tertentu dalam konteks makalah ini adalah Militer yang notabene sebagai bagian dari kekuasaan dan menjadi alat kekuasaan dalam melakukan tindak kekerasan terhadap orang-orang dan kelompok yang dianggap tidak sejalan dengan Pemerintah. Mulai dari peristiwa G 30 S/PKI yang melahirkan orde baru sampai pada kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada terbenamnya Orde Baru, telah menjadi bagian dari Sejarah masa lalu Bangsa Indonesia yang penuh simbah darah dan linangan air mata.
Bukan lah suatu hal yang mudah untuk melupakan apa yang telah terjadi terutama bagi orang-orang yang secara langsung menjadi korban dan atau saksi hidup atas kekejaman yang terjadi. Keturunan dari orang-orang yang mendapat cap “G 30 S/PKI” tentu banyak yang merasa telah diperlakukan secara tidak adil, yang mana harus turut menanggung kesalahan dari orang tua, yang mana kesalahan itu pun sebenarnya masih perlu dibuktikan lebih lanjut. Negara yang berkewajiban untuk melindungi warganya dan memberikan perlakuan yang adil, paling tidak harus memberikan suatu langkah proaktif terkait dengan perlindungan Hak-hak individu yang dimiliki baik oleh orang-orang yang pada masa lalu telah diperlakukan tidak adil mau pun keturunan yang menjadi “korban sejarah” hanya karena hubungan darah yang ada dalam diri mereka.
Bergulirnya reformasi, membawa perubahan bagi Penegakan HAM di Indonesia. Hal ini paling tidak terlihat dari disahkannya UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia dan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Negara pun mulai melangkah lebih jauh dalam Penegakan Hak Asasi Manusia dengan memasuki ruang pribadi yaitu ruang kehidupan suami – istri dengan disahkannya UU No.23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bergulirnya reformasi, paling tidak mencatat realitas histories yang cukup penting, yaitu mulai tersentuhnya kalangan militer oleh hukum. Pada era reformasi banyak perwira militer yang dihadapkan ke meja hijau melalui Pengadilan HAM maupun pengadilan koneksitas. Terlepas dari pantas tidaknya hukuman yang telah dijatuhkan, terselenggaranya Pengadilan HAM maupun Pengadilan Koneksitas setidak-tidaknya dapat dianggap sebagai langkah konstruktif bagi perkembangan Penegakan HAM di Indonesia. Sejak Reformasi paling tidak tercatat telah diselenggarakan Pengadilan Timor-Timur pasca Jajak Pendapat, Pengadilan (Pidana) koneksitas atas kasus Tengku Bantaqiah, Pengadilan (Pidana) koneksitas atas kasus 27 Juli serta Mahkamah Militer atas kasus Theys Eluay dan kasus Trisakti.[2]
Harus diakui secara sportif bahwa penegakan HAM dalam rangka menanggulangi warisan-warisan kejahatan politik masa lalu belum lah memuaskan. Tetapi perlu juga difikirkan bahwa Bangsa Indonesia tidak dapat hidup hanya untuk memperbaiki sejarah masa lalu. Orang-orang yang menjadi “Pelaku” Tindak Kekerasan pada masa lalu pun tentu tidak akan berpangku tangan menunggu hukuman atas apa yang mereka perbuat ketika masih berada dalam lingkaran kekuasaan.
pembunuhan politik ekstra-judisial yang banyak terjadi dalam operasi-operasi militer untuk menumpas musuh-musuh politik rezim yang berkuasa - maka sesungguhnya kita mewarisi puluhan hingga ratusan ribu korban yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Para korban ini menunggu keadilan yang menjadi tanggungjawab negara untuk menegakkannya. Inilah keadilan yang mempunyai dua sisi: pemulihan bagi korban dan penghukuman bagi pelaku.[3]
Negara sebagai wadah yang menaungi warga bangsa tidak dapat dibiarkan terjebak di tengah-tengah konstalasi politik dan social yang memanas antara “Pelaku” di suatu pihak dan kalangan yang memperjuangkan penegakan keadilan atas Tindak Kekerasan yang dilakukan aparat Negara pada masa lalu di pihak lain.
Oleh karena itu diperlukan suatu langkah yang disatu pihak merupakan bagian dari usaha penyelesain kejahatan politik masa lalu dan penghukuman yang tidak menimbulkan perlawanan dari “Pelaku”. Langkah ini perlu ditempuh kalau sekiranya mewujudkan keadilan secara proporsional akan berdampak pada terancamnya persatuan dan kesatuan mau pun dapat menciptakan “keresahan” bagi warga masyarakat pada umumnya.
Langkah tersebut adalah Islah. Langkah ini pernah ditempuh untuk kasus Tanjung Priok, yang mana Try Sutrisno menandatangani “Piagam Perdamaian” dengan para korban peristiwa Tanjung Priok antara lain istri almarhum Amir Biki, Ny. Dewi wardah. Nurcholish Majid dan Pangdam Jaya Bibit Waluyo juga turut menandatangani piagam tersebut sebagai saksi. [4]
Meskipun terdapat anggapan bahwa langkah ini hanyalah sekedar penerapan amnesia sejarah, paling tidak kesepakatan perdamaian antara pelaku dengan korban tentunya akan berdampak lebih baik di bandingkan usaha penegakan keadilan yang berdampak pada terjadinya benturan social.
Islah tidak boleh di pandang sebagai langkah untuk melanggengkan impunitas. Islah merupakan alternatif untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman atas luka-luka sejarah masa lalu. Islah juga sebaiknya tidak dipandang sebagai langkah diskriminatif dalam menyelesaikan suatu kasus terhadap kasus lainnya. Islah tidak lebih sebagai usaha perdamaian untuk menghilangkan dendam sejarah para korban dan keturunannya terhadap Pelaku Tindak Kekerasan.
Islah memang bukan lah suatu refleksi dari keadilan transisional dalam konteks dan parameter yang digariskan oleh ELSAM. Tetapi islah bukan lah keberpihakan pada Pelaku atas apa yang telah dilakukannya pada masa lalu. Pelaku yang melakukan Islah setidak-tidaknya telah memberikan pengakuan bahwa ia memang telah melakukan kejahatan yang telah dituduhkan dan mengakui kejahatan tersebut dan memiliki keinginan untuk berdamai. Hal ini karena tidak mungkin orang berdamai untuk sesuatu yang ia sama sekali tidak memiliki keterkaitan di dalamnya. Jadi yang perlu dilihat adalah adanya keinginan untuk melakukan perdamaian merupakan simbol dari pengakuan si pelaku atas kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hal ini tidak dapat dijumpai dalam forum pengadilan, yang mana tidak akan tercetus keinginan untuk berdamai ketika para mantan jendral tersebut dimejahijaukan. Oleh karena itu sebagai usaha untuk mewujudkan keadilan sejarah, Islah dapat dianggap sebagai sarana untuk menciptakan keadilan transisional guna menghilangkan dendam sejarah demi kelanjutan perjalanan hidup bangsa.
[1] www.elsam.or.id , Tutup buku dengan “Transitional Justice”? : Menutup Lembaran Hak Asasi Manusia 1999-2004 dan Membuka Lembaran Baru 2005, Laporan HAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta 2005, hal.1
[2] idem, hal. 6
[3] www.islamlib.com , Islam dan Kejahatan Politik Masa Lalu, oleh AE Priyono, 30 Juni 2002
[4] Idem