Oleh: Satrio Pramono
Pada akhirnya wacana pengenaan pajak terhadap surplus Bank Indonesia terealisir setelah disahkannya UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 4 angka 1 huruf S UU No.36 Tahun 2008 tersebut mencantumkan surplus bank Indonesia sebagai salah satu objek pajak penghasilan.
Berbeda dengan ketidaksinkronan antara UU KPK dan UU BI di mana UU BI mensyaratkan proses hukum terhadap anggota Dewan Gubernur mewajibkan adanya persetujuan tertulis dari Presiden dan tidak memberikan alternatif lain, terkait dengan pajak penghasilan UU No.3 Tahun 2004 pasal II angka 4 memang memberikan pembebasan pajak penghasilan secara limitatif atas surplus yang diperoleh Bank Indonesia.
Pasal II angka 4
“Sepanjang belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa surplus Bank Indonesia dikenakan pajak penghasilan, maka berdasarkan Undang-undang ini surplus Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan”
Sehingga dapat terlihat bahwa antara UU BI dan UU Pajak Penghasilan bersifat saling terkait tidak bertentangan dimana BI hanya akan dibebaskan dari pengenaan pajak penghasilan sepanjang tidak ada ketentuan perundang-undangan dikemudian hari yang tidak mengenakan pajak penghasilan terhadap surplus yang dihasilkan oleh BI. Hanya saja terlalu ringkasnya pasal II angka 4 berpotensi merapuhkan posisi Dewan Gubernur sebagai pemangku kewenangan tertinggi di Bank Indonesia. Hal ini karena tidak terbatasinya penyerahan pengenaan pajak penghasilan atas surplus tersebut membuka resiko baru bagi anggota Dewan Gubernur khususnya terkait dengan pidana pajak.
Proses perumusan Pasal II angka 4 sepertinya luput dari perhatian tim BI ketika merumuskan UU No.3 Tahun 2004 sehingga mengakibatkan tidak teridentifikasinya potensi pidana perpajakan termasuk paksa badan yang dapat dikenai terhadap anggota Dewan Gubernur. Tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa akhir rumusan pasal tersebut merupakan hasil kompromi win-win solution dimana BI akhirnya tidak dikenai pajak penghasilan meski bersifat hanya sementara sampai adanya undang-undang yang mengatur hal tersebut.
Tetapi patut disayangkan bahwa tidak dimuatnya pembatasan pertanggungjawaban atas pengenaan pajak penghasilan tersebut menyebabkan BI dalam perspektif perpajakan diperlakukan layaknya sector swasta termasuk dalam pertanggungjawaban secara pidana.
Hal ini dapat dilihat dari keseluruhan UU No.36 Tahun 2008 tersebut yang hanya memberikan pengaturan secara ringkas tentang pengenaan pajak atas surplus Bank Indonesia. Ringkasnya pengaturan tersebut menyiratkan bahwa secara perpajakan, Bank Indonesia sepenuhnya tergantung pada kebijakan Dirjen Pajak.
Tidak dirumuskannya ketentuan terhadap pengenaan pajak atas surplus BI khususnya terkait dengan batas minimal tanggung jawab perpajakan yang diemban oleh anggota Dewan Gubernur, mengakibatkan BI tidak memiliki posisi tawar dalam pengenaan pajak tersebut khususnya dalam tataran Peraturan Pemerintah untuk pengenaan atas surplus tersebut, BI hanya dapat memasrahkan pembebanan kewajiban yang akan dikenakan terhadap BI. Oleh karena itu perlu dirumuskan secermat mungkin pasca dikeluarkannya Peraturan Pemerintah tentang Pengenaan Pajak Penghasilan tersebut khususnya untuk mengantisipasi potensi sanksi khususnya pidana yang dapat dikenakan terhadap personil BI terkait dengan prosedur pelaporan dan pemotongan pajak penghasilan terebut, yang mana BI digolongkan sebagai Wajib Pajak Badan dalam UU Pajak Penghasilan tersebut sehingga segala hak dan kewajiban termasuk resiko sanksi yang dikenakan terhadap Wajib Pajak Badan dapat juga dikenakan terhadap Bank Indonesia.
Labels
Wednesday, October 15, 2008
Tuesday, October 14, 2008
Sidoarjo Mud Volcano Disaster, shall Lapindo pay for it?
By Fatahillah Hoed
In the last few days, people in Indonesia see in the media related to the spin off drama Lapindo Brantas Inc from PT Energi Mega Persada tbk (Energi), indonesian company listed in Jakarta Stock Exchange,through transfer of share PT Kalila Energy Ltd and Pan Asia Enterprises Ltd based in Hong Kong to Freehold Group Ltd, spv from BVI.
If the Mud Volcano disaster sufferers in Sidoarjo observe it very closely related to continuous action by Energi Mega Persada tbk, it seems that the transfer of share to Freehold Group Ltd could be classify as the worst case scenario available by EMP to discharge the burden even that also contain high risk because the transfer of share was prohibited by Bapepam as Indonesia Capital Market Regulator after Energi Mega Persada tbk have fail to obtain consent from Bapepam to initiate Extra Ordinary General Meeting of Shareholder with transfer of share Lapindo Brantas Inc to Lyte Ltd, affiliated with Bakrie Family (Larangan Bapepam diterabas: Energi Jual Lapindo ke Freehold, www.detik.com). Assume Energi insist to held their Extra Ordinary General Meeting of Shareholder in order to have shareholder approval for the transaction with Lyte Ltd without BKPM consent for such meeting, Energi clearly violated Bapepam Rules IX E1 related to Conflict of Interest on Certain Transaction and IX E2 related to Material Transaction and Changing in Core Business.
Considering the financial burden caused by Lapindo Brantas Inc in Sidoarjo, Energi had to spin off the company regardless any reaction from Gevernment or Bapepam. This Financial Burden will be much higher in the future despite of some opinion arise that what had happened in Sidoarjo was national natural disaster and The Central Government also have to involved financially.
Decision had to be made to choose the future of Energi. Even spin off to Freehold consider as the worst case scenario, from other point of view, the spin off to Freehold could also be consider as “show off” from Energi to Bapepam. It was like kind of statement that said: “well, you have your opportunity, with us or against us, but with or without you, we will keep doing it!”
The Issue of material transaction as basic judgement to consider any transaction have to comply with Rules IX E1 and IX E2 had been swift by Energi by making radical move by conducted spin off to Freehold without any prior notification to Bapepam and said it on the media that the transaction was not consider as conflict of interest because the other parties was not affiliated with Bakrie family. If this kind of move proven to be succesful in the future, it will be recorded in the history as “good media campaign”. Why? That because Energi have been success orchestrated their agenda that approval from Bapepam require only for transaction with affiliated company. So, beside “show-off” Energi also success to have Bapepam to tango a long.
The recent condition shows that Bapepam Chief, Fuad Rahmany, only said “the transaction was improper”. There is no indication that Bapepam will take further progressive action. Fuad stated that Bapepam authorization limited only for asking information related to plan to sale the share (Bapepam: Penjualan Lapindo tidak layak, www.detik.com), regardless that The Capital Market Law No. 8 Year 1995 article 102 authorize Bapepam to impose administrative sanction like suspension of business activity and article 101 for initiate criminal investigation or at least formla investigation based on article 100 for violation of The Law No.8 Year 1995 and implemented regulation. Basically, violation of Bapepam Rules as implemented regulation of Law No.8 Year 1995 could initiate Formal Investigation (see article 100 [1]). The Higher degree is whenever Bapepam consider that the violation could caused public in jeopardy, Bapepam based on article 101 [1] could initiate Criminal Investigation. So actually there is no legal background sufficient to support Fuad Rahmany statement related to Bapepam authority regarding spin off Lapindo to Freehold. People of Sidoarjo that hit by Mud Volcano caused by Lapindo activity on Sumur Banjar Panji-1 could consider have placed public property in jeopardy. Divestment of Lapindo by Energi could be consider as a way of avoiding responsibility especially from financial perspective. Actually Bapepam also require to conduct investigation related to Mud Volcano disaster.
The essence of the investigation is to have detail information related the liabilities burden of the disaster. If the Result indicated that the disaster caused by Lapindo Brantas technical staff only, Bapepam could inform the Public and Capital Market investor, Energi have no contribution that initiate disaster. However, Bapepam also require to utilize their commercial sense if the main action that caused mud volcano disaster was the motive to achieved lower drilling cost by lowering the standard drilling procedure. So the first question need to be answered is: “How they did it? Is they have the same standard with any other oil company which also very concern with safety?” After conducting very dilligent investigation to answer such question by using interview and technical examination, the possible answer will be: “OK, they did it right, but the luck was not on their side at that time”, or “well, it is very obvious you guys were not doing the drilling properly, we need further information to assure the ultimate person as initiator of such idea that finally caused the disaster”.
The Criminal investigation by Bapepam will have unsimilar issue with Police Investigation. The Investigation initiate by Bapepam will be based on Capital Market Law No.8 Year 1995 including all relevant implemented regulation. Whenever Bapepam discover there are violation of other Regulation like Environmental Law No.23 Year 1997 or Criminal Law, that will be part of Police Jurisdiction.
Other than placed public property in jeopardy, article 101 (1) Capital Market Law authorize Bapepam, to initiate criminal investigation based on their opinion which will require further investigation to support it. The criminal investigation could be driven as part of Bapepam social responsibility purposes to Sidoarjo sufferers.
The first action is to verify whether the transaction have no conflict of interest and not classify as material transaction. To verify there are no conflict of interest, the ultimate shareholder of Freehold Group Ltd has to be disclosed. The next step will be to make further clarification and extensive and intensive research to uncover any business relation of the ultimate shareholder or majority ultimate shareholder of Freehold with majority Ultimate Shareholder or Ultimate Shareholder of Energi.
Those step needs to be taken as implementation of Bapepam Rules IX E1 point 2 [“ If there is a transaction in which Comimissioner, Director or the substansial shareholder or the affiliated Person of Director, Comimissioner or the substansial shareholder has the Conflict of Interest, it must first to be approved by independent Shareholders or their authorized representative in General Meeting of Shareholder as described in this rule. Such approval must be confirmed in the form of Notarial Deed”] which have two substansial element relevant to this case, Direct Person (Director, Comimissioner, substansial shareholder) and Indirect Person (affiliated from Direct Person). The Direct or Indirect Person needs to be verify that none of them have Conflict of Interest. Bapepam Rule IX E 1 section 1.d. define Conflict of Interest as “a difference between the economic interest of a Company and the personal economic ineterest of the Director, Comimissioner or the major shareholder of the company or affiliated party of the Director, Comimissioner or the major shareholder).
So, based on those Rules, Bapepam require to identify the parties in Lapindo spin off regardless any reason provide by Energi (confidentiality etc). It will be hopeless to go much further when one of the party in the transaction only SPV.
Verification and cross examination including also tracking from any available source of information also require to find out whether there was any existence of affiliation relationship between the parties.
The affiliation relationship should not limited only to holding-subsidiary relationship, but also require to include whether there was joint operation or other running business cooperation between the parties or any set off package exist. From profit and losses perspective, it would be hard when unaffiliated party will enter the transaction that already suffer huge losses at front which could be much harder in the future especially after the occurrence of blast gaz pipe owned by Pertamina in Porong Sidoarjo on Wednesday 22nd November 2006a cross Mud Volcano area (Pipa gas Pertamina disemburan lumpur meledak, www.detik.com). There is no assurance for such a kind will not occur in the future at Mud Volcano area. That is only one of occurrence from potential disaster that finally arise become reality.
Lapindo also have to face the real cost estimate by Faiz Shahab, Energi Director, at least US$ 106 million until the end of 2006 which Insurance only cover US$ 25 million from PT Asuransi Tugu Pratama and its Consortium and US$ 2,5 million from PT AIU Indonesia (Beli Lapindo US$ 2, Lyte pikul kerugian US$ 106 juta, www.detik.com). By any means necessary, Energi have to spin off Lapindo at any cost because Lapindo mud volcano disaster could become cancer, could swallow the whole profit.
From the two point above, clearly shown Energi have huge economic interest to spin off Lapindo especially to prevent further decrease of company financial performance. The Lapindo Cancer in the end could also hit the Energi as substansial shareholder of Lapindo Brantas Inc and then substansial shareholder of Energi, so the substansial shareholder also have economic interest to prevent further losses caused by mud volcano disaster at Sumur Banjar Panji-1 at Brantas PSC that operate by Lapindo Brantas Inc and owned 50% by Lapindo Brantas Inc, 32% by PT Medco Energi Internasional tbk and 18% by Santos. Energi as the sole owner Lapindo Brantas Inc through PT Kalila Energy Ltd and Pan Asia Enterprises Ltd, indirrectly responsible financially to bear and settle the cost of mud volcano disaster. The Shareholder of Energi have economic interest to maintain profitability and to prevent further decrease of financial performance of the company. So economic interest actually could not limited to create profit but also create losseses or to prevent losses. The final conclusion, there should be conflict of interest involved at least between the interest to avoid losses and interest to settled losses.
Related to Bapepam Rule IX E2 on Material Transaction and Core Business Shifting, determine by parameter designated by definiton on point 1, equal or greater than 10% of Company revenue or 20% of Company equity. So just take a look at Energi Financial Report and compare the revenue of Energi with the residual value of Lapindo Brantas Inc after deducted for cost financing mud volcano disaster.
Unfortunately, Mud Volcano sufferers at the end will only become the believers of one of the known proverb that said: “The Truth is hurt”. They have to face the reality that Lapindo is the only one who bear the responsibility of the Sidoarjo Mud Volcano disaster. Vice President Jusuf Kalla stated that whoever the purchaser, the responsibility still remain and another statement said: Lapindo is the one who will responsible and Lapindo still remain in Indonesia (JK: Siapapun Pembeli Lapindo harus Tanggung Jawab, www.detik.com ). The statement indicated the responsibility solely bear on Lapindo. It seems there is new progress consist of a kind of written obligation that Lapindo will not the only one bear the cost of mud volcano disaster. Especially based on article 3 section 1 Company Law No.1 Year 1995 that limited the responsibility of the Company Shareholder only as much as the value of his share, Energi parctically in secure position unless one of point at article section 2 discovered, the sufferers will only rely on good faith of Lapindo and affiliated company.
So, for the sake of Mud Volcano sufferer, let us hope that Lapindo will not file petition for bankruptcy and than transfer the profitable wells which in the end left the sufferer with the misery.
In the last few days, people in Indonesia see in the media related to the spin off drama Lapindo Brantas Inc from PT Energi Mega Persada tbk (Energi), indonesian company listed in Jakarta Stock Exchange,through transfer of share PT Kalila Energy Ltd and Pan Asia Enterprises Ltd based in Hong Kong to Freehold Group Ltd, spv from BVI.
If the Mud Volcano disaster sufferers in Sidoarjo observe it very closely related to continuous action by Energi Mega Persada tbk, it seems that the transfer of share to Freehold Group Ltd could be classify as the worst case scenario available by EMP to discharge the burden even that also contain high risk because the transfer of share was prohibited by Bapepam as Indonesia Capital Market Regulator after Energi Mega Persada tbk have fail to obtain consent from Bapepam to initiate Extra Ordinary General Meeting of Shareholder with transfer of share Lapindo Brantas Inc to Lyte Ltd, affiliated with Bakrie Family (Larangan Bapepam diterabas: Energi Jual Lapindo ke Freehold, www.detik.com). Assume Energi insist to held their Extra Ordinary General Meeting of Shareholder in order to have shareholder approval for the transaction with Lyte Ltd without BKPM consent for such meeting, Energi clearly violated Bapepam Rules IX E1 related to Conflict of Interest on Certain Transaction and IX E2 related to Material Transaction and Changing in Core Business.
Considering the financial burden caused by Lapindo Brantas Inc in Sidoarjo, Energi had to spin off the company regardless any reaction from Gevernment or Bapepam. This Financial Burden will be much higher in the future despite of some opinion arise that what had happened in Sidoarjo was national natural disaster and The Central Government also have to involved financially.
Decision had to be made to choose the future of Energi. Even spin off to Freehold consider as the worst case scenario, from other point of view, the spin off to Freehold could also be consider as “show off” from Energi to Bapepam. It was like kind of statement that said: “well, you have your opportunity, with us or against us, but with or without you, we will keep doing it!”
The Issue of material transaction as basic judgement to consider any transaction have to comply with Rules IX E1 and IX E2 had been swift by Energi by making radical move by conducted spin off to Freehold without any prior notification to Bapepam and said it on the media that the transaction was not consider as conflict of interest because the other parties was not affiliated with Bakrie family. If this kind of move proven to be succesful in the future, it will be recorded in the history as “good media campaign”. Why? That because Energi have been success orchestrated their agenda that approval from Bapepam require only for transaction with affiliated company. So, beside “show-off” Energi also success to have Bapepam to tango a long.
The recent condition shows that Bapepam Chief, Fuad Rahmany, only said “the transaction was improper”. There is no indication that Bapepam will take further progressive action. Fuad stated that Bapepam authorization limited only for asking information related to plan to sale the share (Bapepam: Penjualan Lapindo tidak layak, www.detik.com), regardless that The Capital Market Law No. 8 Year 1995 article 102 authorize Bapepam to impose administrative sanction like suspension of business activity and article 101 for initiate criminal investigation or at least formla investigation based on article 100 for violation of The Law No.8 Year 1995 and implemented regulation. Basically, violation of Bapepam Rules as implemented regulation of Law No.8 Year 1995 could initiate Formal Investigation (see article 100 [1]). The Higher degree is whenever Bapepam consider that the violation could caused public in jeopardy, Bapepam based on article 101 [1] could initiate Criminal Investigation. So actually there is no legal background sufficient to support Fuad Rahmany statement related to Bapepam authority regarding spin off Lapindo to Freehold. People of Sidoarjo that hit by Mud Volcano caused by Lapindo activity on Sumur Banjar Panji-1 could consider have placed public property in jeopardy. Divestment of Lapindo by Energi could be consider as a way of avoiding responsibility especially from financial perspective. Actually Bapepam also require to conduct investigation related to Mud Volcano disaster.
The essence of the investigation is to have detail information related the liabilities burden of the disaster. If the Result indicated that the disaster caused by Lapindo Brantas technical staff only, Bapepam could inform the Public and Capital Market investor, Energi have no contribution that initiate disaster. However, Bapepam also require to utilize their commercial sense if the main action that caused mud volcano disaster was the motive to achieved lower drilling cost by lowering the standard drilling procedure. So the first question need to be answered is: “How they did it? Is they have the same standard with any other oil company which also very concern with safety?” After conducting very dilligent investigation to answer such question by using interview and technical examination, the possible answer will be: “OK, they did it right, but the luck was not on their side at that time”, or “well, it is very obvious you guys were not doing the drilling properly, we need further information to assure the ultimate person as initiator of such idea that finally caused the disaster”.
The Criminal investigation by Bapepam will have unsimilar issue with Police Investigation. The Investigation initiate by Bapepam will be based on Capital Market Law No.8 Year 1995 including all relevant implemented regulation. Whenever Bapepam discover there are violation of other Regulation like Environmental Law No.23 Year 1997 or Criminal Law, that will be part of Police Jurisdiction.
Other than placed public property in jeopardy, article 101 (1) Capital Market Law authorize Bapepam, to initiate criminal investigation based on their opinion which will require further investigation to support it. The criminal investigation could be driven as part of Bapepam social responsibility purposes to Sidoarjo sufferers.
The first action is to verify whether the transaction have no conflict of interest and not classify as material transaction. To verify there are no conflict of interest, the ultimate shareholder of Freehold Group Ltd has to be disclosed. The next step will be to make further clarification and extensive and intensive research to uncover any business relation of the ultimate shareholder or majority ultimate shareholder of Freehold with majority Ultimate Shareholder or Ultimate Shareholder of Energi.
Those step needs to be taken as implementation of Bapepam Rules IX E1 point 2 [“ If there is a transaction in which Comimissioner, Director or the substansial shareholder or the affiliated Person of Director, Comimissioner or the substansial shareholder has the Conflict of Interest, it must first to be approved by independent Shareholders or their authorized representative in General Meeting of Shareholder as described in this rule. Such approval must be confirmed in the form of Notarial Deed”] which have two substansial element relevant to this case, Direct Person (Director, Comimissioner, substansial shareholder) and Indirect Person (affiliated from Direct Person). The Direct or Indirect Person needs to be verify that none of them have Conflict of Interest. Bapepam Rule IX E 1 section 1.d. define Conflict of Interest as “a difference between the economic interest of a Company and the personal economic ineterest of the Director, Comimissioner or the major shareholder of the company or affiliated party of the Director, Comimissioner or the major shareholder).
So, based on those Rules, Bapepam require to identify the parties in Lapindo spin off regardless any reason provide by Energi (confidentiality etc). It will be hopeless to go much further when one of the party in the transaction only SPV.
Verification and cross examination including also tracking from any available source of information also require to find out whether there was any existence of affiliation relationship between the parties.
The affiliation relationship should not limited only to holding-subsidiary relationship, but also require to include whether there was joint operation or other running business cooperation between the parties or any set off package exist. From profit and losses perspective, it would be hard when unaffiliated party will enter the transaction that already suffer huge losses at front which could be much harder in the future especially after the occurrence of blast gaz pipe owned by Pertamina in Porong Sidoarjo on Wednesday 22nd November 2006a cross Mud Volcano area (Pipa gas Pertamina disemburan lumpur meledak, www.detik.com). There is no assurance for such a kind will not occur in the future at Mud Volcano area. That is only one of occurrence from potential disaster that finally arise become reality.
Lapindo also have to face the real cost estimate by Faiz Shahab, Energi Director, at least US$ 106 million until the end of 2006 which Insurance only cover US$ 25 million from PT Asuransi Tugu Pratama and its Consortium and US$ 2,5 million from PT AIU Indonesia (Beli Lapindo US$ 2, Lyte pikul kerugian US$ 106 juta, www.detik.com). By any means necessary, Energi have to spin off Lapindo at any cost because Lapindo mud volcano disaster could become cancer, could swallow the whole profit.
From the two point above, clearly shown Energi have huge economic interest to spin off Lapindo especially to prevent further decrease of company financial performance. The Lapindo Cancer in the end could also hit the Energi as substansial shareholder of Lapindo Brantas Inc and then substansial shareholder of Energi, so the substansial shareholder also have economic interest to prevent further losses caused by mud volcano disaster at Sumur Banjar Panji-1 at Brantas PSC that operate by Lapindo Brantas Inc and owned 50% by Lapindo Brantas Inc, 32% by PT Medco Energi Internasional tbk and 18% by Santos. Energi as the sole owner Lapindo Brantas Inc through PT Kalila Energy Ltd and Pan Asia Enterprises Ltd, indirrectly responsible financially to bear and settle the cost of mud volcano disaster. The Shareholder of Energi have economic interest to maintain profitability and to prevent further decrease of financial performance of the company. So economic interest actually could not limited to create profit but also create losseses or to prevent losses. The final conclusion, there should be conflict of interest involved at least between the interest to avoid losses and interest to settled losses.
Related to Bapepam Rule IX E2 on Material Transaction and Core Business Shifting, determine by parameter designated by definiton on point 1, equal or greater than 10% of Company revenue or 20% of Company equity. So just take a look at Energi Financial Report and compare the revenue of Energi with the residual value of Lapindo Brantas Inc after deducted for cost financing mud volcano disaster.
Unfortunately, Mud Volcano sufferers at the end will only become the believers of one of the known proverb that said: “The Truth is hurt”. They have to face the reality that Lapindo is the only one who bear the responsibility of the Sidoarjo Mud Volcano disaster. Vice President Jusuf Kalla stated that whoever the purchaser, the responsibility still remain and another statement said: Lapindo is the one who will responsible and Lapindo still remain in Indonesia (JK: Siapapun Pembeli Lapindo harus Tanggung Jawab, www.detik.com ). The statement indicated the responsibility solely bear on Lapindo. It seems there is new progress consist of a kind of written obligation that Lapindo will not the only one bear the cost of mud volcano disaster. Especially based on article 3 section 1 Company Law No.1 Year 1995 that limited the responsibility of the Company Shareholder only as much as the value of his share, Energi parctically in secure position unless one of point at article section 2 discovered, the sufferers will only rely on good faith of Lapindo and affiliated company.
So, for the sake of Mud Volcano sufferer, let us hope that Lapindo will not file petition for bankruptcy and than transfer the profitable wells which in the end left the sufferer with the misery.
Islah sebagai usaha perwujudan Keadilan Transisional sebagai suatu Keadilan Sejarah
Oleh: Satrio Pramono
Keadilan Transisional merupakan terminologi yang terkait dengan penegakan Hak Azasi Manusia. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), mendefinisikannya sebagai keberanian politik untuk sekali dan selamanya memutuskan rantai impunitas atas dasar suatu keadilan yang kontekstual yang didambakan rakyat, yaitu keadilan bagi si korban dan hukuman bagi si pelaku.[1]
Bila melihat parameter yang dibuat oleh ELSAM tersebut, sebenarnya terlihat bahwa Transitional Justice yang seharusnya diwujudkan di Indonesia adalah mewujudkan suatu keadilan yang pada masa lalu khususnya sejak era Orde Baru, tidak dapat terealisasi disebabkan oleh situasi dan kondisi pada saat itu tidak memungkinkan untuk terciptanya suatu keadilan atas perlakuan terhadap orang tertentu mau pun kalangan tertentu.
Jadi yang sebenarnya berusaha diwujudkan adalah suatu keadilan sejarah, yaitu berusaha untuk memperbaiki masa lalu bangsa yang kelam dalam bentuk mengusahakan terciptanya keadilan bagi seluruh komponen bangsa yang terlibat pada peristiwa terkait. Tentu saja keadilan sejarah ini harus tetap terjaga sebatas tataran untuk mewujudkan keadilan bukan menjadi sarana untuk melakukan balas dendam sejarah.
Hal ini karena banyak sekali peristiwa masa lalu dalam rentang waktu sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang mencerminkan keberpihakan Negara pada kalangan tertentu yang memegang tampuk kekuasaan pada masa itu. Kalangan tertentu dalam konteks makalah ini adalah Militer yang notabene sebagai bagian dari kekuasaan dan menjadi alat kekuasaan dalam melakukan tindak kekerasan terhadap orang-orang dan kelompok yang dianggap tidak sejalan dengan Pemerintah. Mulai dari peristiwa G 30 S/PKI yang melahirkan orde baru sampai pada kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada terbenamnya Orde Baru, telah menjadi bagian dari Sejarah masa lalu Bangsa Indonesia yang penuh simbah darah dan linangan air mata.
Bukan lah suatu hal yang mudah untuk melupakan apa yang telah terjadi terutama bagi orang-orang yang secara langsung menjadi korban dan atau saksi hidup atas kekejaman yang terjadi. Keturunan dari orang-orang yang mendapat cap “G 30 S/PKI” tentu banyak yang merasa telah diperlakukan secara tidak adil, yang mana harus turut menanggung kesalahan dari orang tua, yang mana kesalahan itu pun sebenarnya masih perlu dibuktikan lebih lanjut. Negara yang berkewajiban untuk melindungi warganya dan memberikan perlakuan yang adil, paling tidak harus memberikan suatu langkah proaktif terkait dengan perlindungan Hak-hak individu yang dimiliki baik oleh orang-orang yang pada masa lalu telah diperlakukan tidak adil mau pun keturunan yang menjadi “korban sejarah” hanya karena hubungan darah yang ada dalam diri mereka.
Bergulirnya reformasi, membawa perubahan bagi Penegakan HAM di Indonesia. Hal ini paling tidak terlihat dari disahkannya UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia dan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Negara pun mulai melangkah lebih jauh dalam Penegakan Hak Asasi Manusia dengan memasuki ruang pribadi yaitu ruang kehidupan suami – istri dengan disahkannya UU No.23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bergulirnya reformasi, paling tidak mencatat realitas histories yang cukup penting, yaitu mulai tersentuhnya kalangan militer oleh hukum. Pada era reformasi banyak perwira militer yang dihadapkan ke meja hijau melalui Pengadilan HAM maupun pengadilan koneksitas. Terlepas dari pantas tidaknya hukuman yang telah dijatuhkan, terselenggaranya Pengadilan HAM maupun Pengadilan Koneksitas setidak-tidaknya dapat dianggap sebagai langkah konstruktif bagi perkembangan Penegakan HAM di Indonesia. Sejak Reformasi paling tidak tercatat telah diselenggarakan Pengadilan Timor-Timur pasca Jajak Pendapat, Pengadilan (Pidana) koneksitas atas kasus Tengku Bantaqiah, Pengadilan (Pidana) koneksitas atas kasus 27 Juli serta Mahkamah Militer atas kasus Theys Eluay dan kasus Trisakti.[2]
Harus diakui secara sportif bahwa penegakan HAM dalam rangka menanggulangi warisan-warisan kejahatan politik masa lalu belum lah memuaskan. Tetapi perlu juga difikirkan bahwa Bangsa Indonesia tidak dapat hidup hanya untuk memperbaiki sejarah masa lalu. Orang-orang yang menjadi “Pelaku” Tindak Kekerasan pada masa lalu pun tentu tidak akan berpangku tangan menunggu hukuman atas apa yang mereka perbuat ketika masih berada dalam lingkaran kekuasaan.
pembunuhan politik ekstra-judisial yang banyak terjadi dalam operasi-operasi militer untuk menumpas musuh-musuh politik rezim yang berkuasa - maka sesungguhnya kita mewarisi puluhan hingga ratusan ribu korban yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Para korban ini menunggu keadilan yang menjadi tanggungjawab negara untuk menegakkannya. Inilah keadilan yang mempunyai dua sisi: pemulihan bagi korban dan penghukuman bagi pelaku.[3]
Negara sebagai wadah yang menaungi warga bangsa tidak dapat dibiarkan terjebak di tengah-tengah konstalasi politik dan social yang memanas antara “Pelaku” di suatu pihak dan kalangan yang memperjuangkan penegakan keadilan atas Tindak Kekerasan yang dilakukan aparat Negara pada masa lalu di pihak lain.
Oleh karena itu diperlukan suatu langkah yang disatu pihak merupakan bagian dari usaha penyelesain kejahatan politik masa lalu dan penghukuman yang tidak menimbulkan perlawanan dari “Pelaku”. Langkah ini perlu ditempuh kalau sekiranya mewujudkan keadilan secara proporsional akan berdampak pada terancamnya persatuan dan kesatuan mau pun dapat menciptakan “keresahan” bagi warga masyarakat pada umumnya.
Langkah tersebut adalah Islah. Langkah ini pernah ditempuh untuk kasus Tanjung Priok, yang mana Try Sutrisno menandatangani “Piagam Perdamaian” dengan para korban peristiwa Tanjung Priok antara lain istri almarhum Amir Biki, Ny. Dewi wardah. Nurcholish Majid dan Pangdam Jaya Bibit Waluyo juga turut menandatangani piagam tersebut sebagai saksi. [4]
Meskipun terdapat anggapan bahwa langkah ini hanyalah sekedar penerapan amnesia sejarah, paling tidak kesepakatan perdamaian antara pelaku dengan korban tentunya akan berdampak lebih baik di bandingkan usaha penegakan keadilan yang berdampak pada terjadinya benturan social.
Islah tidak boleh di pandang sebagai langkah untuk melanggengkan impunitas. Islah merupakan alternatif untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman atas luka-luka sejarah masa lalu. Islah juga sebaiknya tidak dipandang sebagai langkah diskriminatif dalam menyelesaikan suatu kasus terhadap kasus lainnya. Islah tidak lebih sebagai usaha perdamaian untuk menghilangkan dendam sejarah para korban dan keturunannya terhadap Pelaku Tindak Kekerasan.
Islah memang bukan lah suatu refleksi dari keadilan transisional dalam konteks dan parameter yang digariskan oleh ELSAM. Tetapi islah bukan lah keberpihakan pada Pelaku atas apa yang telah dilakukannya pada masa lalu. Pelaku yang melakukan Islah setidak-tidaknya telah memberikan pengakuan bahwa ia memang telah melakukan kejahatan yang telah dituduhkan dan mengakui kejahatan tersebut dan memiliki keinginan untuk berdamai. Hal ini karena tidak mungkin orang berdamai untuk sesuatu yang ia sama sekali tidak memiliki keterkaitan di dalamnya. Jadi yang perlu dilihat adalah adanya keinginan untuk melakukan perdamaian merupakan simbol dari pengakuan si pelaku atas kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hal ini tidak dapat dijumpai dalam forum pengadilan, yang mana tidak akan tercetus keinginan untuk berdamai ketika para mantan jendral tersebut dimejahijaukan. Oleh karena itu sebagai usaha untuk mewujudkan keadilan sejarah, Islah dapat dianggap sebagai sarana untuk menciptakan keadilan transisional guna menghilangkan dendam sejarah demi kelanjutan perjalanan hidup bangsa.
[1] www.elsam.or.id , Tutup buku dengan “Transitional Justice”? : Menutup Lembaran Hak Asasi Manusia 1999-2004 dan Membuka Lembaran Baru 2005, Laporan HAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta 2005, hal.1
[2] idem, hal. 6
[3] www.islamlib.com , Islam dan Kejahatan Politik Masa Lalu, oleh AE Priyono, 30 Juni 2002
[4] Idem
Keadilan Transisional merupakan terminologi yang terkait dengan penegakan Hak Azasi Manusia. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), mendefinisikannya sebagai keberanian politik untuk sekali dan selamanya memutuskan rantai impunitas atas dasar suatu keadilan yang kontekstual yang didambakan rakyat, yaitu keadilan bagi si korban dan hukuman bagi si pelaku.[1]
Bila melihat parameter yang dibuat oleh ELSAM tersebut, sebenarnya terlihat bahwa Transitional Justice yang seharusnya diwujudkan di Indonesia adalah mewujudkan suatu keadilan yang pada masa lalu khususnya sejak era Orde Baru, tidak dapat terealisasi disebabkan oleh situasi dan kondisi pada saat itu tidak memungkinkan untuk terciptanya suatu keadilan atas perlakuan terhadap orang tertentu mau pun kalangan tertentu.
Jadi yang sebenarnya berusaha diwujudkan adalah suatu keadilan sejarah, yaitu berusaha untuk memperbaiki masa lalu bangsa yang kelam dalam bentuk mengusahakan terciptanya keadilan bagi seluruh komponen bangsa yang terlibat pada peristiwa terkait. Tentu saja keadilan sejarah ini harus tetap terjaga sebatas tataran untuk mewujudkan keadilan bukan menjadi sarana untuk melakukan balas dendam sejarah.
Hal ini karena banyak sekali peristiwa masa lalu dalam rentang waktu sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang mencerminkan keberpihakan Negara pada kalangan tertentu yang memegang tampuk kekuasaan pada masa itu. Kalangan tertentu dalam konteks makalah ini adalah Militer yang notabene sebagai bagian dari kekuasaan dan menjadi alat kekuasaan dalam melakukan tindak kekerasan terhadap orang-orang dan kelompok yang dianggap tidak sejalan dengan Pemerintah. Mulai dari peristiwa G 30 S/PKI yang melahirkan orde baru sampai pada kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada terbenamnya Orde Baru, telah menjadi bagian dari Sejarah masa lalu Bangsa Indonesia yang penuh simbah darah dan linangan air mata.
Bukan lah suatu hal yang mudah untuk melupakan apa yang telah terjadi terutama bagi orang-orang yang secara langsung menjadi korban dan atau saksi hidup atas kekejaman yang terjadi. Keturunan dari orang-orang yang mendapat cap “G 30 S/PKI” tentu banyak yang merasa telah diperlakukan secara tidak adil, yang mana harus turut menanggung kesalahan dari orang tua, yang mana kesalahan itu pun sebenarnya masih perlu dibuktikan lebih lanjut. Negara yang berkewajiban untuk melindungi warganya dan memberikan perlakuan yang adil, paling tidak harus memberikan suatu langkah proaktif terkait dengan perlindungan Hak-hak individu yang dimiliki baik oleh orang-orang yang pada masa lalu telah diperlakukan tidak adil mau pun keturunan yang menjadi “korban sejarah” hanya karena hubungan darah yang ada dalam diri mereka.
Bergulirnya reformasi, membawa perubahan bagi Penegakan HAM di Indonesia. Hal ini paling tidak terlihat dari disahkannya UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia dan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Negara pun mulai melangkah lebih jauh dalam Penegakan Hak Asasi Manusia dengan memasuki ruang pribadi yaitu ruang kehidupan suami – istri dengan disahkannya UU No.23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bergulirnya reformasi, paling tidak mencatat realitas histories yang cukup penting, yaitu mulai tersentuhnya kalangan militer oleh hukum. Pada era reformasi banyak perwira militer yang dihadapkan ke meja hijau melalui Pengadilan HAM maupun pengadilan koneksitas. Terlepas dari pantas tidaknya hukuman yang telah dijatuhkan, terselenggaranya Pengadilan HAM maupun Pengadilan Koneksitas setidak-tidaknya dapat dianggap sebagai langkah konstruktif bagi perkembangan Penegakan HAM di Indonesia. Sejak Reformasi paling tidak tercatat telah diselenggarakan Pengadilan Timor-Timur pasca Jajak Pendapat, Pengadilan (Pidana) koneksitas atas kasus Tengku Bantaqiah, Pengadilan (Pidana) koneksitas atas kasus 27 Juli serta Mahkamah Militer atas kasus Theys Eluay dan kasus Trisakti.[2]
Harus diakui secara sportif bahwa penegakan HAM dalam rangka menanggulangi warisan-warisan kejahatan politik masa lalu belum lah memuaskan. Tetapi perlu juga difikirkan bahwa Bangsa Indonesia tidak dapat hidup hanya untuk memperbaiki sejarah masa lalu. Orang-orang yang menjadi “Pelaku” Tindak Kekerasan pada masa lalu pun tentu tidak akan berpangku tangan menunggu hukuman atas apa yang mereka perbuat ketika masih berada dalam lingkaran kekuasaan.
pembunuhan politik ekstra-judisial yang banyak terjadi dalam operasi-operasi militer untuk menumpas musuh-musuh politik rezim yang berkuasa - maka sesungguhnya kita mewarisi puluhan hingga ratusan ribu korban yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Para korban ini menunggu keadilan yang menjadi tanggungjawab negara untuk menegakkannya. Inilah keadilan yang mempunyai dua sisi: pemulihan bagi korban dan penghukuman bagi pelaku.[3]
Negara sebagai wadah yang menaungi warga bangsa tidak dapat dibiarkan terjebak di tengah-tengah konstalasi politik dan social yang memanas antara “Pelaku” di suatu pihak dan kalangan yang memperjuangkan penegakan keadilan atas Tindak Kekerasan yang dilakukan aparat Negara pada masa lalu di pihak lain.
Oleh karena itu diperlukan suatu langkah yang disatu pihak merupakan bagian dari usaha penyelesain kejahatan politik masa lalu dan penghukuman yang tidak menimbulkan perlawanan dari “Pelaku”. Langkah ini perlu ditempuh kalau sekiranya mewujudkan keadilan secara proporsional akan berdampak pada terancamnya persatuan dan kesatuan mau pun dapat menciptakan “keresahan” bagi warga masyarakat pada umumnya.
Langkah tersebut adalah Islah. Langkah ini pernah ditempuh untuk kasus Tanjung Priok, yang mana Try Sutrisno menandatangani “Piagam Perdamaian” dengan para korban peristiwa Tanjung Priok antara lain istri almarhum Amir Biki, Ny. Dewi wardah. Nurcholish Majid dan Pangdam Jaya Bibit Waluyo juga turut menandatangani piagam tersebut sebagai saksi. [4]
Meskipun terdapat anggapan bahwa langkah ini hanyalah sekedar penerapan amnesia sejarah, paling tidak kesepakatan perdamaian antara pelaku dengan korban tentunya akan berdampak lebih baik di bandingkan usaha penegakan keadilan yang berdampak pada terjadinya benturan social.
Islah tidak boleh di pandang sebagai langkah untuk melanggengkan impunitas. Islah merupakan alternatif untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman atas luka-luka sejarah masa lalu. Islah juga sebaiknya tidak dipandang sebagai langkah diskriminatif dalam menyelesaikan suatu kasus terhadap kasus lainnya. Islah tidak lebih sebagai usaha perdamaian untuk menghilangkan dendam sejarah para korban dan keturunannya terhadap Pelaku Tindak Kekerasan.
Islah memang bukan lah suatu refleksi dari keadilan transisional dalam konteks dan parameter yang digariskan oleh ELSAM. Tetapi islah bukan lah keberpihakan pada Pelaku atas apa yang telah dilakukannya pada masa lalu. Pelaku yang melakukan Islah setidak-tidaknya telah memberikan pengakuan bahwa ia memang telah melakukan kejahatan yang telah dituduhkan dan mengakui kejahatan tersebut dan memiliki keinginan untuk berdamai. Hal ini karena tidak mungkin orang berdamai untuk sesuatu yang ia sama sekali tidak memiliki keterkaitan di dalamnya. Jadi yang perlu dilihat adalah adanya keinginan untuk melakukan perdamaian merupakan simbol dari pengakuan si pelaku atas kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hal ini tidak dapat dijumpai dalam forum pengadilan, yang mana tidak akan tercetus keinginan untuk berdamai ketika para mantan jendral tersebut dimejahijaukan. Oleh karena itu sebagai usaha untuk mewujudkan keadilan sejarah, Islah dapat dianggap sebagai sarana untuk menciptakan keadilan transisional guna menghilangkan dendam sejarah demi kelanjutan perjalanan hidup bangsa.
[1] www.elsam.or.id , Tutup buku dengan “Transitional Justice”? : Menutup Lembaran Hak Asasi Manusia 1999-2004 dan Membuka Lembaran Baru 2005, Laporan HAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta 2005, hal.1
[2] idem, hal. 6
[3] www.islamlib.com , Islam dan Kejahatan Politik Masa Lalu, oleh AE Priyono, 30 Juni 2002
[4] Idem
Practical problem on land for collateral purposes in Indonesia
By: Fatahillah Hoed
Law No.4 Year 1996 is primary reference to pledge the land in Indonesia. The Law announces the term “Hak Tanggungan” to use instead “Hipotik”, which customarily utilized in previous era of Law No.4 Year 1996.
Hak Tanggungan is not restricted only to the land, it’s also any object stand permanently connected to the land.
Article 1 Section 1 Law No.4 year 1996, defined Hak Tanggungan as Security Right imposed on the Land Right as Refers to the Law No.5 Year 1960, including or not cover any other object which integrated with such Land, to redeem certain debt to the creditor.
There will not be a problem to the object such as building or factory. The minimum security value to the land and building could be based only to land and building itself regardless the purpose of the building.
The problem shall arise when the object have volatile price in the market which could easily remove from the land. Inserting the object could boost the collateral value of the land which increases debtors lending limit. As long as the Debtors pay his monthly installment, the business will be as usual.
It will be very tricky when the Debtors proposed restructuring or demand lower terms and condition. The Creditor will require further calculation before accepting the Debtors proposal. If the Creditor forecast the risk exceeds the minimum burden, Creditor could instruct the Debtor to refinance the debt through another party. The worst condition when the Debtors already hit the bottom faster than the Creditor Expectation.
This condition shall bring the Creditor to the last two alternatives:
Remain in Silence. The Creditor shall not conduct any further action with consideration that character of Hak Tanggungan is Droit de suit refers to article 7 Law No. 4 Year 1996 which basically signify that as long as the Debtors not fully paid their debt, Hak Tanggungan remain valid to the land regardless the owner of the land. These alternatives shall create uncertainty from creditor’s commercial perspective since the interest and cost of money will be limitless which the longer time consume will increase more uncollectible interest by the Creditors. The risks for the land to be abandon also require fully consideration from the Creditors, which will cause longer time for the debt to be fully paid. It will bring more headaches when there is more than one level of Hak Tanggungan on such Land which means there will be probability fighting between creditors when the land value was not sufficient to fully pay each Creditor especially the workers also were not paid for the last several Months. The Remain in Silence will create more loss because there will be nothing left after the fight.
Initiate Legal Action. The Creditor has to take action to secure the collateral. The Workers will have their support from Industrial Relationship Court (Court which authorizes to settle cases related to the workers and the Employer) and the Debtor will get in touch with any support available. The Creditor should listing any support available to them based on prevailing Law and Regulation which will require urgent response to initiate Legal Action.
It will depend to the Creditors based on their specific condition and Debtor’s Character whether they will remain in Silence or initiate legal action. The only thing remain will be the only full protection is from the Creditor itself, by forecasting the further condition of the Debtor before it’s too late.
Law No.4 Year 1996 is primary reference to pledge the land in Indonesia. The Law announces the term “Hak Tanggungan” to use instead “Hipotik”, which customarily utilized in previous era of Law No.4 Year 1996.
Hak Tanggungan is not restricted only to the land, it’s also any object stand permanently connected to the land.
Article 1 Section 1 Law No.4 year 1996, defined Hak Tanggungan as Security Right imposed on the Land Right as Refers to the Law No.5 Year 1960, including or not cover any other object which integrated with such Land, to redeem certain debt to the creditor.
There will not be a problem to the object such as building or factory. The minimum security value to the land and building could be based only to land and building itself regardless the purpose of the building.
The problem shall arise when the object have volatile price in the market which could easily remove from the land. Inserting the object could boost the collateral value of the land which increases debtors lending limit. As long as the Debtors pay his monthly installment, the business will be as usual.
It will be very tricky when the Debtors proposed restructuring or demand lower terms and condition. The Creditor will require further calculation before accepting the Debtors proposal. If the Creditor forecast the risk exceeds the minimum burden, Creditor could instruct the Debtor to refinance the debt through another party. The worst condition when the Debtors already hit the bottom faster than the Creditor Expectation.
This condition shall bring the Creditor to the last two alternatives:
Remain in Silence. The Creditor shall not conduct any further action with consideration that character of Hak Tanggungan is Droit de suit refers to article 7 Law No. 4 Year 1996 which basically signify that as long as the Debtors not fully paid their debt, Hak Tanggungan remain valid to the land regardless the owner of the land. These alternatives shall create uncertainty from creditor’s commercial perspective since the interest and cost of money will be limitless which the longer time consume will increase more uncollectible interest by the Creditors. The risks for the land to be abandon also require fully consideration from the Creditors, which will cause longer time for the debt to be fully paid. It will bring more headaches when there is more than one level of Hak Tanggungan on such Land which means there will be probability fighting between creditors when the land value was not sufficient to fully pay each Creditor especially the workers also were not paid for the last several Months. The Remain in Silence will create more loss because there will be nothing left after the fight.
Initiate Legal Action. The Creditor has to take action to secure the collateral. The Workers will have their support from Industrial Relationship Court (Court which authorizes to settle cases related to the workers and the Employer) and the Debtor will get in touch with any support available. The Creditor should listing any support available to them based on prevailing Law and Regulation which will require urgent response to initiate Legal Action.
It will depend to the Creditors based on their specific condition and Debtor’s Character whether they will remain in Silence or initiate legal action. The only thing remain will be the only full protection is from the Creditor itself, by forecasting the further condition of the Debtor before it’s too late.
Monday, October 13, 2008
Hedging Ketenagalistrikan, akankah terjadi di Indonesia?
Oleh: Fatahillah Hoed
Berlakunya UU 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, merefleksikan hasrat Pemerintah menggulirkan sektor kelistrikan menjadi lebih kompetitif. Harga listrik di suatu wilayah diserahkan pada mekanisme pasar (penentuan wilayah kompetisi ini oleh Badan Pengawas pasar Tenaga Listrik). Hal ini berarti harga listrik disesuaikan dengan penawaran dan permintaan yang ada di suatu wilayah. Jika permintaan pasokan listrik meningkat sedangkan penawaran tidak sebanding, berakibat pada terjadinya peningkatan harga pembelian listrik dan harga akan turun ketika terjadi sebaliknya atau permintaan akhirnya menurun. Perubahan tingkat harga ini menyulitkan bagi sektor usaha yang membutuhkan banyak pasokan tenaga listrik dalam menghitung production cost.
Kondisi tersebut menimbulkan ketidakpastian bagi para pengusaha dalam memprediksi profit yang akan diraih. Para pengusaha perlu memastikan bahwa mereka dapat memperoleh fix price untuk pasokan listrik selama waktu tertentu di masa datang. Kebutuhan inilah yang dipenuhi melalui Hedging atau produk derivatif lainnya sebagai lindung nilai atas fluktuasi harga listrik. Tapi dapatkah hal ini terjadi di Indonesia? Terlebih dahulu harus ditinjau peta pasar tenaga listrik di Indonesia menurut UU Ketenagalistrikan.
Berdasarkan pasal 20 ayat 1 dan pasal 21 ayat 1 UU 20 Tahun 2002 terdapat dua segmentasi pasar tenaga Listrik dilihat dari tingkat tegangan yang dipakai, yaitu pasar tenaga listrik tegangan rendah serta pasar tenaga listrik tegangan tinggi dan menengah. Pasar tenaga listrik tegangan rendah melayani konsumen rumah tangga, diusahakan oleh badan yang memperoleh izin usaha penjualan tenaga listrik diwilayah tertentu.
Tapi konsumen tegangan rendah dapat memperoleh alternatif pasokan dari Agen Penjualan Tenaga Listrik yang mendapat izin dari Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik untuk memberi pelayanan bersaing dengan Usaha Penjualan Tenaga Listrik.
Sedangkan Agen Penjualan tenaga Listrik melayani komsumen tegangan menengah dan tegangan tinggi. Agen Penjualan Tenaga Listrik dan Usaha Penjualan Tenaga Listrik memperoleh pasokan dari pembangkit dan perusahaan yang memiliki kelebihan produksi listrik untuk kebutuhan sendiri. Perusahaan ini sebelumnya harus sudah memliki izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk dapat memasuki pasar tenaga listrik. Disamping itu terdapat Pelaku usaha tidak langsung yang menunjang terjadinya transaksi tenaga listrik yaitu bagian pembangkit, transmisi, distribusi dan Pengelola Sistem Tenaga Listrik, yang menerima pembayaran dari Pengelola Pasar Tenaga Listrik. Selain melakukan pembayaran tersebut, Pengelola Pasar Tenaga Listrik juga menangani proses pembayaran dari agen penjualan dan usaha penjualan tenaga listrik serta proses pembayaran lainnya.
Jadi transaksi di pasar tenaga listrik terjadi antara Agen Penjualan dan Usaha Penjualan tenaga listrik sebagai broker dengan konsumen tenaga listrik yang dipertemukan oleh Pengelola Pasar Tenaga Listrik sebagai market maker. Pengelola pasar tenaga listrik dapat diibaratkan sebagai bursa tenaga listrik. UU Ketenagalistrikan tidak memungkinkan terjadinya transaksi listrik secara over the counter (OTC) yaitu di luar pengelola pasar tenaga listrik. Ini karena semua transaksi pasar tenaga listrik diselesaikan oleh Pengelola Pasar Tenaga Listrik.
Oleh karena itu Hedging tenaga listrik, hanya dapat terjadi melalui pengelola pasar tenaga listrik yang dalam cakupan lebih luas tidak hanya berperan sebagai market maker, juga Electricity Exchange yang menjadi semacam European Electricity Exchange bagi negara dengan ribuan pulau dan banyak pegunungan seperti Indonesia.
Manfaat dari hedging tenaga listrik ini adalah terciptanya kepastian pasokan pada tingkat harga tertentu yang akan memudahkan dunia industri dalam menghitung ongkos produksi. Penyedia jasa lindung nilai ini baik berupa hedging maupun produk derivatif lain seperti future adalah agen penjual tenaga listrik.
Hal ini karena berdasarkan UU Ketenagalistrikan tidak dimungkinkan adanya pihak ketiga lain yang menjamin ketersediaan pasokan tenaga listrik selain agen penjualan dan usaha penjualan tenaga listrik.
Jadi Pengelola Pasar Tenaga Listrik yang berdasarkan UU Ketenagalistrikan mempertemukan penawaran dan permintaan serta fungsi2 lain mencakup penyelesaian transaksi, dapat saja berbentuk sebagai bursa yang menjadi ajang bagi para agen penjualan dan usaha penjualan tenaga listrik serta konsumen listrik baik untuk mencari maupun menawarkan pasokan serta menyediakan jasa hedging bagi pasokan listrik dalam beberapa waktu kedepan.
Tetapi Pihak swasta maupun BUMN yang menjadi agen penjualan sekaligus penyedia jasa produk derivatif Ketenagalistrikan harus tidak hanya memahami seluk beluk ketenagalistrikan, melainkan juga hal-hal berkaitan dengan produk derivatif. Oleh karena itu perlu disiapkan sumber daya manusia yang menguasai ketenagalistrikan dan seluk beluk produk derivatif.
Pengelola Pasar tenaga listrik perlu diisi oleh tenaga-tenaga yang telah mempelajari tentang industri tenaga listrik, akan lebih baik kalau berpengalaman di EEX Leipzig maupun bursa lain di Amerika Serikat, Eropa maupun Jepang. Sehingga dapat tercipta pasar derivatif tenaga listrik yang likuid di Indonesia, dengan tujuan utama untuk lindung nilai, bukan spekulasi.
Berlakunya UU 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, merefleksikan hasrat Pemerintah menggulirkan sektor kelistrikan menjadi lebih kompetitif. Harga listrik di suatu wilayah diserahkan pada mekanisme pasar (penentuan wilayah kompetisi ini oleh Badan Pengawas pasar Tenaga Listrik). Hal ini berarti harga listrik disesuaikan dengan penawaran dan permintaan yang ada di suatu wilayah. Jika permintaan pasokan listrik meningkat sedangkan penawaran tidak sebanding, berakibat pada terjadinya peningkatan harga pembelian listrik dan harga akan turun ketika terjadi sebaliknya atau permintaan akhirnya menurun. Perubahan tingkat harga ini menyulitkan bagi sektor usaha yang membutuhkan banyak pasokan tenaga listrik dalam menghitung production cost.
Kondisi tersebut menimbulkan ketidakpastian bagi para pengusaha dalam memprediksi profit yang akan diraih. Para pengusaha perlu memastikan bahwa mereka dapat memperoleh fix price untuk pasokan listrik selama waktu tertentu di masa datang. Kebutuhan inilah yang dipenuhi melalui Hedging atau produk derivatif lainnya sebagai lindung nilai atas fluktuasi harga listrik. Tapi dapatkah hal ini terjadi di Indonesia? Terlebih dahulu harus ditinjau peta pasar tenaga listrik di Indonesia menurut UU Ketenagalistrikan.
Berdasarkan pasal 20 ayat 1 dan pasal 21 ayat 1 UU 20 Tahun 2002 terdapat dua segmentasi pasar tenaga Listrik dilihat dari tingkat tegangan yang dipakai, yaitu pasar tenaga listrik tegangan rendah serta pasar tenaga listrik tegangan tinggi dan menengah. Pasar tenaga listrik tegangan rendah melayani konsumen rumah tangga, diusahakan oleh badan yang memperoleh izin usaha penjualan tenaga listrik diwilayah tertentu.
Tapi konsumen tegangan rendah dapat memperoleh alternatif pasokan dari Agen Penjualan Tenaga Listrik yang mendapat izin dari Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik untuk memberi pelayanan bersaing dengan Usaha Penjualan Tenaga Listrik.
Sedangkan Agen Penjualan tenaga Listrik melayani komsumen tegangan menengah dan tegangan tinggi. Agen Penjualan Tenaga Listrik dan Usaha Penjualan Tenaga Listrik memperoleh pasokan dari pembangkit dan perusahaan yang memiliki kelebihan produksi listrik untuk kebutuhan sendiri. Perusahaan ini sebelumnya harus sudah memliki izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk dapat memasuki pasar tenaga listrik. Disamping itu terdapat Pelaku usaha tidak langsung yang menunjang terjadinya transaksi tenaga listrik yaitu bagian pembangkit, transmisi, distribusi dan Pengelola Sistem Tenaga Listrik, yang menerima pembayaran dari Pengelola Pasar Tenaga Listrik. Selain melakukan pembayaran tersebut, Pengelola Pasar Tenaga Listrik juga menangani proses pembayaran dari agen penjualan dan usaha penjualan tenaga listrik serta proses pembayaran lainnya.
Jadi transaksi di pasar tenaga listrik terjadi antara Agen Penjualan dan Usaha Penjualan tenaga listrik sebagai broker dengan konsumen tenaga listrik yang dipertemukan oleh Pengelola Pasar Tenaga Listrik sebagai market maker. Pengelola pasar tenaga listrik dapat diibaratkan sebagai bursa tenaga listrik. UU Ketenagalistrikan tidak memungkinkan terjadinya transaksi listrik secara over the counter (OTC) yaitu di luar pengelola pasar tenaga listrik. Ini karena semua transaksi pasar tenaga listrik diselesaikan oleh Pengelola Pasar Tenaga Listrik.
Oleh karena itu Hedging tenaga listrik, hanya dapat terjadi melalui pengelola pasar tenaga listrik yang dalam cakupan lebih luas tidak hanya berperan sebagai market maker, juga Electricity Exchange yang menjadi semacam European Electricity Exchange bagi negara dengan ribuan pulau dan banyak pegunungan seperti Indonesia.
Manfaat dari hedging tenaga listrik ini adalah terciptanya kepastian pasokan pada tingkat harga tertentu yang akan memudahkan dunia industri dalam menghitung ongkos produksi. Penyedia jasa lindung nilai ini baik berupa hedging maupun produk derivatif lain seperti future adalah agen penjual tenaga listrik.
Hal ini karena berdasarkan UU Ketenagalistrikan tidak dimungkinkan adanya pihak ketiga lain yang menjamin ketersediaan pasokan tenaga listrik selain agen penjualan dan usaha penjualan tenaga listrik.
Jadi Pengelola Pasar Tenaga Listrik yang berdasarkan UU Ketenagalistrikan mempertemukan penawaran dan permintaan serta fungsi2 lain mencakup penyelesaian transaksi, dapat saja berbentuk sebagai bursa yang menjadi ajang bagi para agen penjualan dan usaha penjualan tenaga listrik serta konsumen listrik baik untuk mencari maupun menawarkan pasokan serta menyediakan jasa hedging bagi pasokan listrik dalam beberapa waktu kedepan.
Tetapi Pihak swasta maupun BUMN yang menjadi agen penjualan sekaligus penyedia jasa produk derivatif Ketenagalistrikan harus tidak hanya memahami seluk beluk ketenagalistrikan, melainkan juga hal-hal berkaitan dengan produk derivatif. Oleh karena itu perlu disiapkan sumber daya manusia yang menguasai ketenagalistrikan dan seluk beluk produk derivatif.
Pengelola Pasar tenaga listrik perlu diisi oleh tenaga-tenaga yang telah mempelajari tentang industri tenaga listrik, akan lebih baik kalau berpengalaman di EEX Leipzig maupun bursa lain di Amerika Serikat, Eropa maupun Jepang. Sehingga dapat tercipta pasar derivatif tenaga listrik yang likuid di Indonesia, dengan tujuan utama untuk lindung nilai, bukan spekulasi.
Dilema Dual Listing
Oleh: Fatahillah Hoed
Sejak tersandungnya laporan keuangan telkom di NYSE, pemerintah pernah mempertimbangkan untuk melakukan delisting dari bursa tersebut. Beberapa bulan sebelumnya mengemuka wacana dari BEJ bagi 4 BUMN yaitu Telkom, Indosat, PT Timah dan Bukit Asam untuk dual listing di Euronext amsterdam (sinar harapan.co.id, 12 Agustus 2003). Meskipun dinyatakan bahwa itu merupakan program BEJ agar perusahaan yang listing di BEJ dapat listing di Euronext Amsterdam, tidak terelakkan bahwa masalah telkom di NYSE yang saat itu sudah mencuat menjadi pertimbangan penting. PGN pun sempat akan dual listing di London Stock Exchange meski akhirnya tidak direalisasikan (www. Kompas.com, 20 November 2003). Telkom pun pada tahun 1994 sebenarnya sempat ditawari untuk listing di London Stock Exchange oleh Menteri Perdagangan Inggris Richard Needham (bisnis indonesia, 22 Oktober 1994 dari www.hamline.edu).
Pertanyaan yang timbul adalah mengapa harus dual listing di bursa luar negeri? Tidak memadai kah listing di BEJ dan BES?
Menurut Dana T. Ackerly II and Eric J. Pan (Dual-Listing Securities in Europe and United States, http://www.cov.com)/, terdapat beberapa hal yang mendorong ditempuhnya dual listing adalah agar saham menjadi lebih likuid antara lain karena bertambahnya jumlah investor potensial saham terkait dan, perolehan harga yang lebih baik.
Sebenarnya yang patut dicermati adalah bukan masalah di mana listing dilakukan maupun faktor likuid tidak-nya saham. Harus di jelaskan terlebih dahulu oleh BEJ, apakah dual listing di Euronext Amsterdam itu bagi Telkom berarti delisting dari NYSE?
Jika berarti tidak delisting bukankah dapat menjadi bom waktu. Hal ini karena terbuka kemungkinan di masa mendatang timbul secara bersamaan masalah di NYSE dan di Euronext Amsterdam?
Tetapi kalau sebaliknya, akankah apa yang menimpa Telkom di NYSE tidak akan terulang kembali di Euronext Amsterdam? Bukankah masalah di NYSE terjadi bukan ketika Telkom baru listing di NYSE pada tahun 1995? Meskipun sebelumnya dilakukan terlebih dahulu penyelarasan antara ketentuan di BEJ dengan di Euronext, tapi tidak berarti akan timbul kesamaan interpretasi ketika timbul suatu masalah?
Oleh karena itu perlu dilihat apakah peraturan di NYSE yang menjadi batu sandungan bagi Telkom, juga terdapat di Euronext Amsterdam. Tapi tampaknya akan lebih baik kalau bercermin ke sistem hukum sendiri yaitu peraturan pasar modal di Indonesia.
Berdasarkan pers release Telkom di Bandung pada tanggal 11 Juni 2003 (lihat http://www.telkom-indonesia.com)/, terdapat beberapa ketentuan yang mengganjal diterimanya laporan keuangan telkom tahun buku 2002:
1. Auditor yang memeriksa laporan keuangan harus berasosiasi dengan anggota AICPA SEC Practice Section atau
2. memenuhi kewajiban dari SEC untuk melaksanakan dan menyelesaikan proses akreditasi, dengan membuktikan di depan staf SEC atas kompetensi dan keahlian Kantor Akuntan Publik (KAP) terkait dalam menerapkan standar akuntansi yang berlaku di Amerika Serikat, peraturan SEC tentang laporan keuangan dan ketentuan yang diterapkan mengenai independensi.
Bagian pertama dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa untuk dapat melakukan audit, auditor harus menjadi anggota atau berasosiasi dengan anggota dari semacam himpunan auditor yang memenuhi kualifikasi dari SEC. Ketentuan ini lebih luas dari peraturan Bapepam nomor VIII A1 tentang Pendaftaran Akuntan yang melakukan kegiatan di Pasar Modal.
Peraturan Bapepam VIII A1 mengharuskan auditor yang berpraktek di Pasar Modal harus terdaftar di Bapepam. Hal ini menutup kemungkinan bagi auditor asing yang memiliki hubungan asosiasi dengan auditor Indonesia untuk melakukan audit atas perusahaan asing yang akan listing di Indonesia. Seandainya ada perusahaan vietnam listing di BEJ, maka laporan keuangan perusahaan tersebut yang dibuat oleh auditor vietnam tidak akan diterima. Selain karena peraturan VIII A1, persyaratan terdaftarnya akuntan di Bapepam juga terdapat di IX A 10 tentang Penawaran Umum Sertipikat Penitipan Efek Indonesia (Indonesia Depository Receipts). Jadi sebenarnya sudah terlihat siapa yang sebenarnya chauvinis secara yuridis.
Jika auditor terkait bukan anggota atau asosiasi dari anggota AICPA SEC Practice Section, peraturan pasar modal Amerika Serikat masih memberi dispensasi bagi auditor non anggota atau non asosiasi. Dispensasi tersebut berupa kewajiban bagi KAP terkait untuk membuktikan keahliannya pada staf SEC berkaitan dengan peraturan SEC dan standar akuntansi dan ketentuan tentang independensi yang berlaku di Amerika Serikat. Jadi sebenarnya auditor asing pun, meski tidak pernah menginjakkan kakinya di Amerika Serikat atau melakukan praktek berkaitan dengan peraturan pasar modal di Amerika Serikat pun, dapat diterima laporan keuangannya kalau terbukti di depan staf SEC dapat membuktikan kompetensi dan keahliannya berkaitan dengan standar akuntansi dan ketentuan tentang Independensi di Amerika Serikat. Jadi terlihat bahwa US SEC pun memberikan kelonggaran yang sangat fleksibel bagi auditor asing untuk mengais rezeki di pasar modal Amerika.
Sedangkan peraturan di Euronext Amsterdam pada Book II Listing and Issuing Rules: Rules for admission to listing on the Official Market of AEX-Stock Exchange-version January 2000 pada bagian definisi angka 5, kriteria auditor:
a member of the Netherlands Institute of Registered Accountants [Nederlands Instituut van Registeraccountants] or an expert recognised by the Minister of Economic Affairs pursuant to section 102, subsection 1, book 2 of the Dutch Civil Code;
Berdasarkan peraturan Euronext terlihat bahwa seorang auditor untuk dapat melakukan kegiatan paling tidak terdaftar menjadi anggota yang terdaftar di himpunan akuntan terdaftar di Belanda. Jika kualifikasi ini tidak terpenuhi, maka paling tidak auditor terkait harus diakui oleh Menteri Ekonomi Belanda sesuai section 102, subsection 1, book 2 of the Dutch Civil Code.
Jadi sesuai aturan yang berlaku di Euronext Amsterdam, seorang auditor tidak harus terdaftar pada Nederlands Instituut van Registeraccountants untuk dapat berpraktek di Bursa. Peraturan di Euronext Amsterdam lebih fleksible dibandingkan peraturan Bapepam dan lebih rigid dari peraturan pasar modal Amerika Serikat. Pengakuan oleh Menteri Ekonomi tersebut dapat kita samakan pada peraturan Bapepam tentang Pendaftaran Aukntan yang melakukan kegiatan di Pasar Modal yaitu keharusan akuntan untuk memiliki izin praktek dari Menteri Keuangan. Tetapi perbedaan fundamental keduanya adalah di Euronext Amsterdam dengan mengantongi pengakuan dari Menteri Ekonomi, maka jalan sudah terbuka lebar. Berbeda dengan di Indonesia, izin praktek dari Menteri Keuangan tidak secara otomatis membolehkan untuk berpraktek di Pasar modal tanpa terdaftar di Bapepam.
Selain itu fleksibilitas Euronext terlihat dari ketidakharusan untuk terdaftar dalam Nederlands Instituut van Registeraccountants. Hal ini tidak ditemui pada peraturan Bapepam, karena conditio sine qua non pada peraturan Bapepam adalah auditor harus terdaftar di Bapepam untuk dapat melakukan kegiatan di Pasar Modal. Selain itu masih ada keharusan mengikuti program Pendidikan Profesi Lanjutan (PPL) di bidang Akuntansi dan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal sekurang-kurangnya 5 (lima) satuan kredit profesi (SKP) setiap tahun. Oleh karena itu jelas terlihat bahwa Bapepam masih mengutamakan hal-hal yang bersifat administratif dibandingkan kompetensi dan keahlian.
Bila dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku di NYSE(berdasarkan pers release Telkom 11 Juni 2003), terlihat bahwa sama sekali tidak dibutuhkan pengakuan atau izin praktek dari Menteri yang terkait dengan sektor pasar modal di Amerika Serikat sebagaimana halnya berlaku secara berbeda di Indonesia dan Amsterdam.
Euronext Amsterdam pun secara sederhana terlihat lebih rigid dari NYSE berkaitan dengan auditor. Bukankah potensi masalah yang timbul dengan kondisi demikian mejadi lebih besar sekiranya listing di Euronext Amsterdam direalisasikan?
Jika faktor pendorong dual listing di Euronext Amsterdam adalah keluwesan regulator, dapatkah itu menjadi jaminan bahwa tidak akan ada masalah timbul dikemudian hari berkaitan dengan ketentuan administratif yang berlaku? Akankah sudah tersedia mekanisme yang disepakati antara BEJ dengan Euronext bahwa tidak akan ada enforcement bersifat denda dan atau suspensi ketika timbul masalah dikemudian hari?
Jadi perlu dipertimbangkan motif penggantian kiblat untuk listing tersebut. Jika potensi investor di Euronext Amsterdam akan membuat saham perusahaan Indonesia lebih likuid tentu patut disambut secara positif. Tetapi kalau hanya didasari emosional yang sifatnya situasional, maka lebih baik dipertimbangkan secara matang. Sebab dalam setiap tindakan dapat timbul masalah. Tetapi ketika tindakan tersebut tidak dilakukan akibatnya adalah kehilangan kesempatan atau momentum untuk meraih gain. Hal ini berlaku juga untuk listing, di mana akan selalu ada dilema dalam dual listing.
Sejak tersandungnya laporan keuangan telkom di NYSE, pemerintah pernah mempertimbangkan untuk melakukan delisting dari bursa tersebut. Beberapa bulan sebelumnya mengemuka wacana dari BEJ bagi 4 BUMN yaitu Telkom, Indosat, PT Timah dan Bukit Asam untuk dual listing di Euronext amsterdam (sinar harapan.co.id, 12 Agustus 2003). Meskipun dinyatakan bahwa itu merupakan program BEJ agar perusahaan yang listing di BEJ dapat listing di Euronext Amsterdam, tidak terelakkan bahwa masalah telkom di NYSE yang saat itu sudah mencuat menjadi pertimbangan penting. PGN pun sempat akan dual listing di London Stock Exchange meski akhirnya tidak direalisasikan (www. Kompas.com, 20 November 2003). Telkom pun pada tahun 1994 sebenarnya sempat ditawari untuk listing di London Stock Exchange oleh Menteri Perdagangan Inggris Richard Needham (bisnis indonesia, 22 Oktober 1994 dari www.hamline.edu).
Pertanyaan yang timbul adalah mengapa harus dual listing di bursa luar negeri? Tidak memadai kah listing di BEJ dan BES?
Menurut Dana T. Ackerly II and Eric J. Pan (Dual-Listing Securities in Europe and United States, http://www.cov.com)/, terdapat beberapa hal yang mendorong ditempuhnya dual listing adalah agar saham menjadi lebih likuid antara lain karena bertambahnya jumlah investor potensial saham terkait dan, perolehan harga yang lebih baik.
Sebenarnya yang patut dicermati adalah bukan masalah di mana listing dilakukan maupun faktor likuid tidak-nya saham. Harus di jelaskan terlebih dahulu oleh BEJ, apakah dual listing di Euronext Amsterdam itu bagi Telkom berarti delisting dari NYSE?
Jika berarti tidak delisting bukankah dapat menjadi bom waktu. Hal ini karena terbuka kemungkinan di masa mendatang timbul secara bersamaan masalah di NYSE dan di Euronext Amsterdam?
Tetapi kalau sebaliknya, akankah apa yang menimpa Telkom di NYSE tidak akan terulang kembali di Euronext Amsterdam? Bukankah masalah di NYSE terjadi bukan ketika Telkom baru listing di NYSE pada tahun 1995? Meskipun sebelumnya dilakukan terlebih dahulu penyelarasan antara ketentuan di BEJ dengan di Euronext, tapi tidak berarti akan timbul kesamaan interpretasi ketika timbul suatu masalah?
Oleh karena itu perlu dilihat apakah peraturan di NYSE yang menjadi batu sandungan bagi Telkom, juga terdapat di Euronext Amsterdam. Tapi tampaknya akan lebih baik kalau bercermin ke sistem hukum sendiri yaitu peraturan pasar modal di Indonesia.
Berdasarkan pers release Telkom di Bandung pada tanggal 11 Juni 2003 (lihat http://www.telkom-indonesia.com)/, terdapat beberapa ketentuan yang mengganjal diterimanya laporan keuangan telkom tahun buku 2002:
1. Auditor yang memeriksa laporan keuangan harus berasosiasi dengan anggota AICPA SEC Practice Section atau
2. memenuhi kewajiban dari SEC untuk melaksanakan dan menyelesaikan proses akreditasi, dengan membuktikan di depan staf SEC atas kompetensi dan keahlian Kantor Akuntan Publik (KAP) terkait dalam menerapkan standar akuntansi yang berlaku di Amerika Serikat, peraturan SEC tentang laporan keuangan dan ketentuan yang diterapkan mengenai independensi.
Bagian pertama dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa untuk dapat melakukan audit, auditor harus menjadi anggota atau berasosiasi dengan anggota dari semacam himpunan auditor yang memenuhi kualifikasi dari SEC. Ketentuan ini lebih luas dari peraturan Bapepam nomor VIII A1 tentang Pendaftaran Akuntan yang melakukan kegiatan di Pasar Modal.
Peraturan Bapepam VIII A1 mengharuskan auditor yang berpraktek di Pasar Modal harus terdaftar di Bapepam. Hal ini menutup kemungkinan bagi auditor asing yang memiliki hubungan asosiasi dengan auditor Indonesia untuk melakukan audit atas perusahaan asing yang akan listing di Indonesia. Seandainya ada perusahaan vietnam listing di BEJ, maka laporan keuangan perusahaan tersebut yang dibuat oleh auditor vietnam tidak akan diterima. Selain karena peraturan VIII A1, persyaratan terdaftarnya akuntan di Bapepam juga terdapat di IX A 10 tentang Penawaran Umum Sertipikat Penitipan Efek Indonesia (Indonesia Depository Receipts). Jadi sebenarnya sudah terlihat siapa yang sebenarnya chauvinis secara yuridis.
Jika auditor terkait bukan anggota atau asosiasi dari anggota AICPA SEC Practice Section, peraturan pasar modal Amerika Serikat masih memberi dispensasi bagi auditor non anggota atau non asosiasi. Dispensasi tersebut berupa kewajiban bagi KAP terkait untuk membuktikan keahliannya pada staf SEC berkaitan dengan peraturan SEC dan standar akuntansi dan ketentuan tentang independensi yang berlaku di Amerika Serikat. Jadi sebenarnya auditor asing pun, meski tidak pernah menginjakkan kakinya di Amerika Serikat atau melakukan praktek berkaitan dengan peraturan pasar modal di Amerika Serikat pun, dapat diterima laporan keuangannya kalau terbukti di depan staf SEC dapat membuktikan kompetensi dan keahliannya berkaitan dengan standar akuntansi dan ketentuan tentang Independensi di Amerika Serikat. Jadi terlihat bahwa US SEC pun memberikan kelonggaran yang sangat fleksibel bagi auditor asing untuk mengais rezeki di pasar modal Amerika.
Sedangkan peraturan di Euronext Amsterdam pada Book II Listing and Issuing Rules: Rules for admission to listing on the Official Market of AEX-Stock Exchange-version January 2000 pada bagian definisi angka 5, kriteria auditor:
a member of the Netherlands Institute of Registered Accountants [Nederlands Instituut van Registeraccountants] or an expert recognised by the Minister of Economic Affairs pursuant to section 102, subsection 1, book 2 of the Dutch Civil Code;
Berdasarkan peraturan Euronext terlihat bahwa seorang auditor untuk dapat melakukan kegiatan paling tidak terdaftar menjadi anggota yang terdaftar di himpunan akuntan terdaftar di Belanda. Jika kualifikasi ini tidak terpenuhi, maka paling tidak auditor terkait harus diakui oleh Menteri Ekonomi Belanda sesuai section 102, subsection 1, book 2 of the Dutch Civil Code.
Jadi sesuai aturan yang berlaku di Euronext Amsterdam, seorang auditor tidak harus terdaftar pada Nederlands Instituut van Registeraccountants untuk dapat berpraktek di Bursa. Peraturan di Euronext Amsterdam lebih fleksible dibandingkan peraturan Bapepam dan lebih rigid dari peraturan pasar modal Amerika Serikat. Pengakuan oleh Menteri Ekonomi tersebut dapat kita samakan pada peraturan Bapepam tentang Pendaftaran Aukntan yang melakukan kegiatan di Pasar Modal yaitu keharusan akuntan untuk memiliki izin praktek dari Menteri Keuangan. Tetapi perbedaan fundamental keduanya adalah di Euronext Amsterdam dengan mengantongi pengakuan dari Menteri Ekonomi, maka jalan sudah terbuka lebar. Berbeda dengan di Indonesia, izin praktek dari Menteri Keuangan tidak secara otomatis membolehkan untuk berpraktek di Pasar modal tanpa terdaftar di Bapepam.
Selain itu fleksibilitas Euronext terlihat dari ketidakharusan untuk terdaftar dalam Nederlands Instituut van Registeraccountants. Hal ini tidak ditemui pada peraturan Bapepam, karena conditio sine qua non pada peraturan Bapepam adalah auditor harus terdaftar di Bapepam untuk dapat melakukan kegiatan di Pasar Modal. Selain itu masih ada keharusan mengikuti program Pendidikan Profesi Lanjutan (PPL) di bidang Akuntansi dan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal sekurang-kurangnya 5 (lima) satuan kredit profesi (SKP) setiap tahun. Oleh karena itu jelas terlihat bahwa Bapepam masih mengutamakan hal-hal yang bersifat administratif dibandingkan kompetensi dan keahlian.
Bila dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku di NYSE(berdasarkan pers release Telkom 11 Juni 2003), terlihat bahwa sama sekali tidak dibutuhkan pengakuan atau izin praktek dari Menteri yang terkait dengan sektor pasar modal di Amerika Serikat sebagaimana halnya berlaku secara berbeda di Indonesia dan Amsterdam.
Euronext Amsterdam pun secara sederhana terlihat lebih rigid dari NYSE berkaitan dengan auditor. Bukankah potensi masalah yang timbul dengan kondisi demikian mejadi lebih besar sekiranya listing di Euronext Amsterdam direalisasikan?
Jika faktor pendorong dual listing di Euronext Amsterdam adalah keluwesan regulator, dapatkah itu menjadi jaminan bahwa tidak akan ada masalah timbul dikemudian hari berkaitan dengan ketentuan administratif yang berlaku? Akankah sudah tersedia mekanisme yang disepakati antara BEJ dengan Euronext bahwa tidak akan ada enforcement bersifat denda dan atau suspensi ketika timbul masalah dikemudian hari?
Jadi perlu dipertimbangkan motif penggantian kiblat untuk listing tersebut. Jika potensi investor di Euronext Amsterdam akan membuat saham perusahaan Indonesia lebih likuid tentu patut disambut secara positif. Tetapi kalau hanya didasari emosional yang sifatnya situasional, maka lebih baik dipertimbangkan secara matang. Sebab dalam setiap tindakan dapat timbul masalah. Tetapi ketika tindakan tersebut tidak dilakukan akibatnya adalah kehilangan kesempatan atau momentum untuk meraih gain. Hal ini berlaku juga untuk listing, di mana akan selalu ada dilema dalam dual listing.
Dilema klausul Pilihan Hukum dan Forum dalam suatu Kontrak Bisnis
Semua orang dalam hidup ini selalu mengharapkan hal-hal yang baik terjadi pada dirinya. Tetapi hidup tidak selalu berisi keindahan, setiap orang juga terkadang harus siap menelan kekecewaan dan kemarahan karena mengalami hal yang buruk. Realitas ini paling tidak memberikan kesadaran, bahwa setiap orang juga harus siap untuk menghadapi hal buruk dalam hidupnya. Hal-hal buruk tersebut menjadi hambatan yang dilalui manusia sebagai bagian dari perjalanan hidupnya. Hambatan tersebut banyak juga yang disikapi sebagai tantangan dan tidak jarang menciptakan peluang seperti hambatan manusia dalam beraktifitas dimalam hari, teratasi dengan ditemukannya lampu yang membantu pengelihatan manusia untuk beraktifitas. di waktu malam.
Pembahasan tulisan ini lebih mengarah pada prosedur yang dipersiapkan guna menghadapi terjadinya hal-hal buruk di masa depan berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian bisnis. Prosedur tersebut mengikuti pilihan hukum dan pilihan forum yang dipilih para pihak dalam perjanjian. Ketiadaan pilihan hukum dan forum dapat mengakibatkan masing-masing pihak menempuh prosedur yang berbeda karena tidak diatur dalam perjanjian. Selain itu dapat juga terjadi suatu pihak menolak mengakui putusan lembaga tertentu yang mengalahkannya dan mengajukan perkaranya ke forum lain.
Pada suatu kontrak umumnya dicantumkan bahwa hukum yang berlaku misalnya adalah hukum Indonesia. Ini berarti hukum Indonesia ditentukan oleh pembuat kontrak sebagai pilihan hukum (choice of law). Selain itu terdapat juga bahwa kalau timbul sengketa dikemudian hari, akan diselesaikan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini menandakan bahwa para pembuat kontrak telah menentukan pilihan forum (choice of forum/ choice of jurisdiction) dalam perjanjiannya yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pilihan hukum dalam suatu kontrak merupakan kesepakatan para pihak mengenai hukum yang dipakai dalam suatu perjanjian. Pasca penentuan pilihan hukum, pelaksanaan perjanjian mengacu pada hukum yang dipilih oleh para pihak tersebut. Jika terjadi sengketa pun, penyebabnya akan dilihat berdasarkan perspektif hukum yang dipilih untuk mengatur perjanjian para pihak. Sedangkan lembaga yang menjadi pilihan untuk menyelesaikan sengketa apakah pengadilan atau arbitrase, ditentukan oleh pilihan forum pihak-pihak penandatangan perjanjian.
Ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan pilihan hukum dan forum serta alternatif penyelesaian sengketa. Menurut Baubly Gediminas, seorang pengacara maritim, pilihan forum berkaitan dengan memilih pengadilan, dapat ditentukan melalui:
a. Penentuan pengadilan tertentu untuk penyelesaian sengketa(prorogational agreement)
b. penentuan bahwa para pihak tidak akan menyelesaikan sengketa di pengadilan negara tertentu(derogational agreement).
Tetapi para pihak tidak sepenuhnya bebas dalam menentukan pilihan forum tersebut. Ketidakbebasan para pihak dalam menentukan pilihan antara lain berhubungan dengan pelaksanaan putusan atas terjadinya suatu sengketa dari forum yang dipilih. Walau pun putusan suatu forum menguntungkan, dapat saja tidak bisa dilaksanakan karena alasan tertentu seperti melanggar ketertiban umum(public order) yaitu antara lain melanggar suatu kebijakan di negara tempat pelaksanaan putusan. Hal ini dapat terjadi karena hukum yang dipilih berbeda dengan negara tempat putusan akan dilaksanakan. Jadi terlihat jelas eratnya keterkaitan antara pilihan hukum dan pilihan forum.
Oleh karena itu efektifitas pelaksanaan putusan dari suatu pencantuman pilihan hukum dan forum tertentu sebaiknya menjadi pertimbangan utama sewaktu kontrak dirumuskan. Pilihan hukum non pengadilan seperti arbitrase dan mediasi hanya akan efektif terhadap pihak yang beritikad baik. Lebih baik memilih pilihan forum pengadilan sebagai langkah preventif dalam melakukan kontrak di Indonesia. Pemilihan ini karena pilihan hukum non-pengadilan tidak akan efektif ketika salah satu pihak tidak kooperatif, yang pada akhirnya bermuara ke pengadilan Indonesia. Patut juga diperhatikan bahwa hakim Indonesia tidak memiliki pemahaman mendalam tentang hukum asing dan kendala mendatangkan ahli hukum asing oleh pengadilan Indonesia. Jadi dalam melakukan perjanjian dengan pihak Indonesia atau yang aset utamanya di Indonesia sebaiknya mencantumkan pilihan hukum hukum Indonesia dan pilihan forum pengadilan Indonesia.
Apa yang terjadi ketika pilihan hukum atau pilihan forum atau keduanya tidak tercantum dalam suatu kontrak? Jawabannya adalah bencana terutama ketika salah satu pihak sengaja cidera janji. Cara menanggulanginya dapat dilakukan interpretasi atas kontrak terkait. Tidak dicantumkan menurut Prof Sudargo Gautama pakar Hukum Perdata Internasional, dapat berarti dilakukan secara diam-diam atau dianggap atau pilihan yang direkonstruksikan hakim berdasarkan asumsi. Tetapi penafsiran tersebut hanya dapat dilakukan melalui persidangan oleh hakim atau jalur non pengadilan sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Hal lain yang mungkin terjadi adalah pilihan hukum dan forum dalam kontrak tidak memadai dengan yurisdiksi yang menjadi tempat pelaksanaan. Ini dapat terjadi pada kontrak-kontrak penggunaan jasa internet. Salah satunya terjadi pada kasus majalah “Playmen” dari Italia yang dilarang terbit di Amerika Serikat oleh Pengadilan New York pada kasus Playboy Enterprises Inc. v. Chuckleberry Publishing Inc. karena melanggar merek “Playboy”. Lalu penerbit tersebut mempublikasikan melalui internet di Itali yang dapat diakses di Amerika Serikat. Pengadilan Federal Amerika Serikat menganggap tindakan penerbit itu melanggar perintah pengadilan.
Tentu saja putusan pengadilan tersebut tidak akan berlaku efektif sepanjang penerbit playmen tidak beroperasi dalam bentuk organisasi usaha tertentu di Amerika Serikat sehingga tidak tergolong sebagai subjek hukum di negara tersebut. Tetapi hal seperti ini tidak berlaku ketika menyangkut internet. Perusahaan yang menampilkan produknya di internet dapat dianggap sebagai subjek hukum yang dapat digugat meski tidak beroperasi secara nyata di suatu daerah seperti di negara bagian New York dalam kasus National Football League v. Miller dan negara bagian Connecticut dalam Inset System, Inc. v. Instruction Set Inc. Sedangkan hal-hal semacam ini belum sampai di hadapan hakim-hakim Indonesia yang seandainya terjadi dapat menjadi sangat dilematis.
Ketentuan yang berlaku di negara-negara bagian Amerika Serikat tersebut dalam konteks ASEAN dan lebih luas dapat juga berlaku di Indonesia ketika terjadi kasus yang melibatkan pihak-pihak tidak berasal dari satu negara. Hal ini paling tidak dapat disikapi sejak awal mengingat makin pentingnya penggunaan internet dalam persaingan bisnis masa depan, bahwa konsep yurisdiksi mengalami perluasan. Yurisdiksi tidak hanya sebatas daerah hukum dalam dunia nyata, tercakup juga di dalamnya dunia maya. Sehingga seseorang, baik manusia maupun badan hukum, tidak harus secara nyata berada di suatu tempat dalam melakukan kegiatan usaha untuk dapat digugat karena merugikan pihak tertentu di negara lain.
Dalam beberapa dekade mendatang, perusahaan berbadan hukum malaysia tanpa memiliki hubungan afiliasi pada suatu perusahaan di Indonesia dapat saja digugat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena promosinya di internet merugikan perorangan atau badan hukum tertentu di Indonesia. Jadi perluasan jangkauan pemasaran disebabkan internet dapat membawa dampak ikutan berupa makin banyaknya yurisdiksi tempat timbulnya suatu gugatan.
Hal ini membuat kegiatan pemasaran barang dan jasa harus lebih berhati-hati dalam melakukan kegiatan dan memformulasikan materi dan tampilan promosinya melalui internet. Sebaiknya dihindari hal-hal yang mengundang kontroversial. Tetapi tidak berarti harus membunuh proses kreasi dan imanjinasi serta inovasi perusahaan dalam melakukan aktifitas komersil via internet.
Tetapi langkah pencegahan pun tidak mudah dilakukan karena internet dapat diakses oleh banyak negara di dunia. Jadi penanganan atas timbulnya gugatan oleh perusahaan yang menawarkan jasanya diinternet lebih bersifat reaktif. Sangat sulit bagi perusahaan hanya memberikan batasan bahwa kegiatannya diperuntukkan bagi wilayah tertentu dan tidak dengan sengaja melanggar ketentuan hukum di negara mana pun. Meskipun dapat saja dibuat disclaimer seperti itu tapi efektifitasnya tergantung dari reaksi atau pandangan pengadilan di yurisdiksi terkait apakah dapat diterima atau tidak karena diajukannya suatu gugatan.
Jika internet menyebabkan makin banyaknya yurisdiksi menjadi tempat diajukannya suatu gugatan, bagaimanakah dengan pilihan hukum, apakah masih perlu dicantumkan dalam suatu perjanjian? Tentu saja masih diperlukan sebagai langkah meminimalisir timbulnya sengketa di kemudian hari. Dampak pemasaran melalui internet lebih mengarah pada makin banyaknya pihak yang merasa dirugikan sehingga mengajukan gugatan, yang tidak dapat dibatasi dengan adanya pilihan hukum. Pihak tersebut tidak sebatas pembeli, tapi juga pemerintah negara tertentu yang peraturannya dilanggar atau lembaga swadaya masyarakat oleh kegiatan komersil suatu perusahaan tertentu di internet. Sedangkan bagi pembeli melalui internet potensi sengketa dikemudian hari dapat ditangani secara lebih baik dengan memasukkan pilihan hukum tidak memihak pada kontrak online yang disodorkan ke konsumen tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pencantuman pilihan hukum dan pilihan forum memiliki dilema tersendiri. Tidak dicantumkannya kedua hal tersebut dapat berakibat pada sulit dicapainya kesepakatan ketika timbul suatu sengketa dalam pelaksanaan perjanjian. Tetapi pencantuman keduanya bukan berarti memperkecil peluang diajukannya gugatan ketika melibatkan internet dalam pelaksanaannya. Jadi berhati-hatilah dalam menentukan pilihan hukum dan forum dalam suatu perjanjian dengan mempetimbangkan kompleksitas bidang usaha dan resiko dari produk barang atau jasa serta cara menawarkannya.
Pembahasan tulisan ini lebih mengarah pada prosedur yang dipersiapkan guna menghadapi terjadinya hal-hal buruk di masa depan berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian bisnis. Prosedur tersebut mengikuti pilihan hukum dan pilihan forum yang dipilih para pihak dalam perjanjian. Ketiadaan pilihan hukum dan forum dapat mengakibatkan masing-masing pihak menempuh prosedur yang berbeda karena tidak diatur dalam perjanjian. Selain itu dapat juga terjadi suatu pihak menolak mengakui putusan lembaga tertentu yang mengalahkannya dan mengajukan perkaranya ke forum lain.
Pada suatu kontrak umumnya dicantumkan bahwa hukum yang berlaku misalnya adalah hukum Indonesia. Ini berarti hukum Indonesia ditentukan oleh pembuat kontrak sebagai pilihan hukum (choice of law). Selain itu terdapat juga bahwa kalau timbul sengketa dikemudian hari, akan diselesaikan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini menandakan bahwa para pembuat kontrak telah menentukan pilihan forum (choice of forum/ choice of jurisdiction) dalam perjanjiannya yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pilihan hukum dalam suatu kontrak merupakan kesepakatan para pihak mengenai hukum yang dipakai dalam suatu perjanjian. Pasca penentuan pilihan hukum, pelaksanaan perjanjian mengacu pada hukum yang dipilih oleh para pihak tersebut. Jika terjadi sengketa pun, penyebabnya akan dilihat berdasarkan perspektif hukum yang dipilih untuk mengatur perjanjian para pihak. Sedangkan lembaga yang menjadi pilihan untuk menyelesaikan sengketa apakah pengadilan atau arbitrase, ditentukan oleh pilihan forum pihak-pihak penandatangan perjanjian.
Ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan pilihan hukum dan forum serta alternatif penyelesaian sengketa. Menurut Baubly Gediminas, seorang pengacara maritim, pilihan forum berkaitan dengan memilih pengadilan, dapat ditentukan melalui:
a. Penentuan pengadilan tertentu untuk penyelesaian sengketa(prorogational agreement)
b. penentuan bahwa para pihak tidak akan menyelesaikan sengketa di pengadilan negara tertentu(derogational agreement).
Tetapi para pihak tidak sepenuhnya bebas dalam menentukan pilihan forum tersebut. Ketidakbebasan para pihak dalam menentukan pilihan antara lain berhubungan dengan pelaksanaan putusan atas terjadinya suatu sengketa dari forum yang dipilih. Walau pun putusan suatu forum menguntungkan, dapat saja tidak bisa dilaksanakan karena alasan tertentu seperti melanggar ketertiban umum(public order) yaitu antara lain melanggar suatu kebijakan di negara tempat pelaksanaan putusan. Hal ini dapat terjadi karena hukum yang dipilih berbeda dengan negara tempat putusan akan dilaksanakan. Jadi terlihat jelas eratnya keterkaitan antara pilihan hukum dan pilihan forum.
Oleh karena itu efektifitas pelaksanaan putusan dari suatu pencantuman pilihan hukum dan forum tertentu sebaiknya menjadi pertimbangan utama sewaktu kontrak dirumuskan. Pilihan hukum non pengadilan seperti arbitrase dan mediasi hanya akan efektif terhadap pihak yang beritikad baik. Lebih baik memilih pilihan forum pengadilan sebagai langkah preventif dalam melakukan kontrak di Indonesia. Pemilihan ini karena pilihan hukum non-pengadilan tidak akan efektif ketika salah satu pihak tidak kooperatif, yang pada akhirnya bermuara ke pengadilan Indonesia. Patut juga diperhatikan bahwa hakim Indonesia tidak memiliki pemahaman mendalam tentang hukum asing dan kendala mendatangkan ahli hukum asing oleh pengadilan Indonesia. Jadi dalam melakukan perjanjian dengan pihak Indonesia atau yang aset utamanya di Indonesia sebaiknya mencantumkan pilihan hukum hukum Indonesia dan pilihan forum pengadilan Indonesia.
Apa yang terjadi ketika pilihan hukum atau pilihan forum atau keduanya tidak tercantum dalam suatu kontrak? Jawabannya adalah bencana terutama ketika salah satu pihak sengaja cidera janji. Cara menanggulanginya dapat dilakukan interpretasi atas kontrak terkait. Tidak dicantumkan menurut Prof Sudargo Gautama pakar Hukum Perdata Internasional, dapat berarti dilakukan secara diam-diam atau dianggap atau pilihan yang direkonstruksikan hakim berdasarkan asumsi. Tetapi penafsiran tersebut hanya dapat dilakukan melalui persidangan oleh hakim atau jalur non pengadilan sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Hal lain yang mungkin terjadi adalah pilihan hukum dan forum dalam kontrak tidak memadai dengan yurisdiksi yang menjadi tempat pelaksanaan. Ini dapat terjadi pada kontrak-kontrak penggunaan jasa internet. Salah satunya terjadi pada kasus majalah “Playmen” dari Italia yang dilarang terbit di Amerika Serikat oleh Pengadilan New York pada kasus Playboy Enterprises Inc. v. Chuckleberry Publishing Inc. karena melanggar merek “Playboy”. Lalu penerbit tersebut mempublikasikan melalui internet di Itali yang dapat diakses di Amerika Serikat. Pengadilan Federal Amerika Serikat menganggap tindakan penerbit itu melanggar perintah pengadilan.
Tentu saja putusan pengadilan tersebut tidak akan berlaku efektif sepanjang penerbit playmen tidak beroperasi dalam bentuk organisasi usaha tertentu di Amerika Serikat sehingga tidak tergolong sebagai subjek hukum di negara tersebut. Tetapi hal seperti ini tidak berlaku ketika menyangkut internet. Perusahaan yang menampilkan produknya di internet dapat dianggap sebagai subjek hukum yang dapat digugat meski tidak beroperasi secara nyata di suatu daerah seperti di negara bagian New York dalam kasus National Football League v. Miller dan negara bagian Connecticut dalam Inset System, Inc. v. Instruction Set Inc. Sedangkan hal-hal semacam ini belum sampai di hadapan hakim-hakim Indonesia yang seandainya terjadi dapat menjadi sangat dilematis.
Ketentuan yang berlaku di negara-negara bagian Amerika Serikat tersebut dalam konteks ASEAN dan lebih luas dapat juga berlaku di Indonesia ketika terjadi kasus yang melibatkan pihak-pihak tidak berasal dari satu negara. Hal ini paling tidak dapat disikapi sejak awal mengingat makin pentingnya penggunaan internet dalam persaingan bisnis masa depan, bahwa konsep yurisdiksi mengalami perluasan. Yurisdiksi tidak hanya sebatas daerah hukum dalam dunia nyata, tercakup juga di dalamnya dunia maya. Sehingga seseorang, baik manusia maupun badan hukum, tidak harus secara nyata berada di suatu tempat dalam melakukan kegiatan usaha untuk dapat digugat karena merugikan pihak tertentu di negara lain.
Dalam beberapa dekade mendatang, perusahaan berbadan hukum malaysia tanpa memiliki hubungan afiliasi pada suatu perusahaan di Indonesia dapat saja digugat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena promosinya di internet merugikan perorangan atau badan hukum tertentu di Indonesia. Jadi perluasan jangkauan pemasaran disebabkan internet dapat membawa dampak ikutan berupa makin banyaknya yurisdiksi tempat timbulnya suatu gugatan.
Hal ini membuat kegiatan pemasaran barang dan jasa harus lebih berhati-hati dalam melakukan kegiatan dan memformulasikan materi dan tampilan promosinya melalui internet. Sebaiknya dihindari hal-hal yang mengundang kontroversial. Tetapi tidak berarti harus membunuh proses kreasi dan imanjinasi serta inovasi perusahaan dalam melakukan aktifitas komersil via internet.
Tetapi langkah pencegahan pun tidak mudah dilakukan karena internet dapat diakses oleh banyak negara di dunia. Jadi penanganan atas timbulnya gugatan oleh perusahaan yang menawarkan jasanya diinternet lebih bersifat reaktif. Sangat sulit bagi perusahaan hanya memberikan batasan bahwa kegiatannya diperuntukkan bagi wilayah tertentu dan tidak dengan sengaja melanggar ketentuan hukum di negara mana pun. Meskipun dapat saja dibuat disclaimer seperti itu tapi efektifitasnya tergantung dari reaksi atau pandangan pengadilan di yurisdiksi terkait apakah dapat diterima atau tidak karena diajukannya suatu gugatan.
Jika internet menyebabkan makin banyaknya yurisdiksi menjadi tempat diajukannya suatu gugatan, bagaimanakah dengan pilihan hukum, apakah masih perlu dicantumkan dalam suatu perjanjian? Tentu saja masih diperlukan sebagai langkah meminimalisir timbulnya sengketa di kemudian hari. Dampak pemasaran melalui internet lebih mengarah pada makin banyaknya pihak yang merasa dirugikan sehingga mengajukan gugatan, yang tidak dapat dibatasi dengan adanya pilihan hukum. Pihak tersebut tidak sebatas pembeli, tapi juga pemerintah negara tertentu yang peraturannya dilanggar atau lembaga swadaya masyarakat oleh kegiatan komersil suatu perusahaan tertentu di internet. Sedangkan bagi pembeli melalui internet potensi sengketa dikemudian hari dapat ditangani secara lebih baik dengan memasukkan pilihan hukum tidak memihak pada kontrak online yang disodorkan ke konsumen tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pencantuman pilihan hukum dan pilihan forum memiliki dilema tersendiri. Tidak dicantumkannya kedua hal tersebut dapat berakibat pada sulit dicapainya kesepakatan ketika timbul suatu sengketa dalam pelaksanaan perjanjian. Tetapi pencantuman keduanya bukan berarti memperkecil peluang diajukannya gugatan ketika melibatkan internet dalam pelaksanaannya. Jadi berhati-hatilah dalam menentukan pilihan hukum dan forum dalam suatu perjanjian dengan mempetimbangkan kompleksitas bidang usaha dan resiko dari produk barang atau jasa serta cara menawarkannya.
Hukum dan Korupsi
Oleh: Satrio Pramono
Beberapa minggu ini tengah ramai di beritakan oleh beberapa media atas kasus penyuapan perkara PK Probosutedjodi Mahkamah Agung. Probosutedjo, karena jenuh disebabkan terlalu banyaknya pihak “menawarkan” putusan bebas atas perkara PK-nya di MA, akhirnya berdasarkan konsultasi dengan Prof Sri Edi Swasono (berdasarkan berita-berita di Metro TV dan beberapa tv swasta lainnya), akhirnya memutuskan untuk melaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan ditemani Prof Sri Edi Swasono sebagai saksi. Tindakan Probosutedjo tersebut menunjukkan ketaatannya kepada hukum, tetapi perlu dipertanyakan lebih lanjut apakah hukum berlaku efektif untuk masalah korupsi? Hal ini karena menyangkut perkara-perkara korupsi, hukum umumnya hanya dapat menjerat orang-orang “bawah” yang terlibat, bukan aktor intelektual, sehingga norma hukum tidak memiliki makna atas norma sosial di masyarakat, “ought” tetaplah hanya sebatas “ought” dan tidak terlaksana pada “is”. [1]
Fenomena ini seperti suatu “parodi”, karena warga masyarakat khususnya di Jakarta tentu tahu Probosutedjo atau paling tidak “mengerti”, yang dilihat berdasar perspektif Hans Kelsen, kadar kebenaran atas suatu pernyataan tentang realitas tertentu, juga ditentukan oleh pengalaman orang tersebut yang secara positif membenarkan pernyataan tersebut.[2]
Jadi yang dipermasalahkan disini adalah bukan lah kredibilitas Probosutedjo dalam melaporkan “tawaran” putusan bebas ke KPK, melainkan latar belakang yang menyebabka terjadinya pengaduan ke KPK tersebut. Hal ini karena sudah menjadi “kebiasaan” bahwa berperkara baik di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, memerlukan “biaya”. Oleh karena itu bagi warga masyarakat yang berusaha memverifikasi pernyataan Probosutedjo yang merasa jenuh dengan tawaran “broker perkara” atas kasus PK-nya di Mahkamah Agung, tentu akan menilai kadar kebenarannya sesuai dengan perspektif Hans Kelsen bahwa kebenaran suatu pernyataan terhadap realitas tertentu, juga ditentukan oleh pengalamannya yang justru menguatkan pernyataan tersebut.[3]
Masalah ini terus berkembang, yang mana Ketua MA Bagir Manan menanggapi laporan Probosutedjo dengan memintanya untuk membuat laporan resmi dengan memuat perincian alokasi dana 16 milliar yang telah dikeluarkan Probosutedjo, yang mana Ketua MA sampai menyatakan:
“ Keterlaluan sekali, membuat kebohongan-kebohongan, dan terus terang saja sebagian dari kita lebih mempercayai keterangan bohong daripada keterangan Ketua MA.’[4]
Jika orang yang mendengar pernyataan tersebut adalah orang asing yang sama sekali tidak mengetahui tentang “track record” Indonesia dalam masalah korupsi (diasumsikan bahwa orang seperti itu benar-benar ada!), maka orang asing tersebut akan bertanya-tanya kenapa banyak orang Indonesia lebih mempercayai issu dibanding pernyataan resmi. Tetapi bagaimana dengan orang Indonesia sendiri, apakah akan mempercayai pernyataan Ketua MA atau isu?
Masyarakat Indonesia memiliki kesan “tersendiri” dalam interaksinya dengan birokrasi, sehingga berdampak pada pandangan tentang korupsi tentu akan berkaitan langsung dengan hal yang dialaminya tersebut, yang mana sudah menjadi “rahasia umum”, untuk memperlancar urusan dengan birokrasi, diperlukan adanya pemberian “uang terima kasih”. Tentunya si pemberi tidak akan mendapat tanda terima apa pun yang secara tertulis menyatakan bahwa Pejabat terkait telah menerima uang tersebut, yang mana praktek-praktek seperti ini menimbulkan stigma bahwa “urusan belakang” lebih efektif dalam menyelesaikan hambatan dalam pengurusan perizinan dan dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh instansi Pemerintah. Walau terdapat aturan hukum yang melarang pemberian suap, bahkan KPK pun tahun ini juga melarang pemberian parcel kepada para pejabat, tidak berarti praktek suap menjadi tidak ada.[5] Tetapi bukan lah larangan pemberian parcel yang dipermasalahkan, melainkan apakah Indonesia sebagai Negara merdeka tidak dapat menjalankan hukum nya secara efektif khususnya dalam menangani masalah korupsi? Apakah legal order[6] di Indonesia tidak dapat menjadi legal order yang valid sebagaimana halnya rezim yang melakukan coup d’Etat dan berhasil mempertahankan kekuasaannya?[7]
Jika hukum diibaratkan sebagai belligerent dan korupsi sebagai penguasa yang lalim, maka dengan mempergunakan pandangan Hans Kelsen tentang Penguasa yang efektif mempertahankan kekuasaanya,[8] maka hukum harus melakukan coup d’Etat untuk menggulingkan korupsi dari singgasana kekuasaannya. Korupsi sebagai penguasa, telah menjalankan kekuasaanya secara efektif, yang terindikasi dari keseharian hidup seluruh warga masyarakat yang bersentuhan dengan korupsi yang sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.[9] Jadi tidak lah mudah bagi hukum untuk melakukan kudeta karena korupsi telah meresap dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Pada saat kejatuhan orde baru, terlihat adanya harapan bahwa Indonesia akan memasuki era baru karena salah satu semboyan reformasi adalah pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), yang pada masa orde baru praktek tersebut sangat menggurita. Proses jatuhnya orde baru oleh gerakan reformasi seakan-akan seperti suatu peristiwa kudeta yang dilakukan oleh hukum yang telah lelah karena selama 32 tahun ditunggangi dan dimanipulasi oleh Korupsi sebagai panglima pada masa orde baru. Oleh karena itu usaha untuk menjadikan hukum sebagai panglima terlihat dari salah satu semboyan gerakan reformasi yaitu pemberantasan KKN, yang mana penegakan hukum mengalami distorsi dan dimanipulasi disebabkan praktek-praktek KKN yang menyebabkan adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.[10]
Oleh karena itu target reformasi dalam bidang hukum paling tidak menghilangkan kelemahan-kelemahan tersebut serta peningkatan kualitas peraturan dan pelaksanaannya dari waktu ke waktu. Tetapi kenyataan berbicara lain, jangankan di berantas, korupsi dengan runtuhnya orde baru sepertinya telah mereformasi dan menduplikasikan diri menjadi virus seiring berlakunya otonomi daerah melalui UU No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah, yang mana praktek korupsi merebak ke seluruh daerah tidak hanya terpusat di Jakarta.
Praktek korupsi yang paling banyak disorot di daerah adalah korupsi APBD. Banyak anggota DPRD yang tersangkut sebagai tersangka dalam masalah korupsi APBD seperti di Nusa Tenggara Barat untuk dugaan korupsi APBD tahun 2001-2002 senilai 24,3 milliar[11]
dan APBD Solo tahun 2003 yang melibatkan 44 anggota DPRD periode 1999 – 2004 sebagai tersangka.[12]
Makin marak dan massive-nya perilaku korupsi pasca tumbangnya orde baru menunjukkan bahwa korupsi lebih berakar kuat di masyarakat, yang mana keberadaan korupsi bukan lah di tunjang oleh penguasa semata, tetapi juga masyarakat yang antara lain terlihat dari masyarakat lebih menghargai seseorang karena kekayaannya tanpa memperdulikan asal perolehan kekayaan itu.[13]
Jadi hukum sebagai belligerent akan selalu mengalami kegagalan dalam melakukan coup d’Etat terhadap korupsi karena kalau diibaratkan penguasa, korupsi merupakan penguasa yang sangat dicintai warganya dan nilai-nilai korupsi sebagai penguasa telah berakar dalam pada kebiasaan dan nilai-nilai hidup dalam masyarakat.
Oleh karena itu, Negara sebagai objek yang diperebutkan oleh hukum dan korupsi akan selalu berada di bawah cengkraman kekuasaan korupsi, yang mana korupsi tidak sendirian dalam menjalankan kekuasaannya. Korupsi didukung oleh kultur yang ada di masyarakat yang melanggengkan praktek-praktek korupsi, antara lain penghargaan terhadap seseorang karena harta kekayaannya yang menyebabkan orang-orang berlomba untuk meraih kekayaan tanpa memperhatikan cara untuk meraih kekayaan tersebut. Selain itu kebiasaan tolong menolong yang berlebihan juga berdampak pada pengabaian ketentuan yang berlaku untuk menolong teman, saudara dan pihak-pihak yang memiliki hubungan kedekatan atau tergolong sebagai kroni dari yang memberikan pertolongan. Tidak jarang orang tersebut sudah sering melanggar hukum dan mengakibatkan kerugian Negara miliaran rupiah tetapi lolos karena longgarnya aturan hukum yang berlaku dan memanfaatkannya dengan membuat seakan-akan tidak ada peraturan yang dilanggar atas tindakan yang dilakukannya tersebut. Penjahat tersebut dikenal sebagai penjahat kerah putih yang dengan perkembangan kota metropolitan, penjahat generasi baru ini makin berkembang, yang profilnya secara gamblang dipaparkan Prof. J.E. Sahetapy:
“…banyak penjahat dewasa ini, yang berkaliber berat, berdasi, berjas, dan berpantolan mahal sesuai dengan tuntutan mode, tampaknya patuh pada undang-undang, beramal, dan kalau perlu menjadi anggota panitia social yang terkenal; meluncur dalam Mercedes atau Volvo yang melakukan praktik-praktik kejahatan tersembunyi di balik tutur kata dan sopan santun yang gearticuleerd. Mereka tidak berasal dari lapisan masyarakat yang miskin, yang kasar; mereka tidak berotot kekar seperti bajingan umum menurut gambaran Lombroso tentang seorang penjahat. Wajah mereka kerap kali tampan, istri (-istri) mereka kerap kali cantik, tetapi mereka adalah “perampok-perampok salon”, sama jahatnya dengan seorang perampok dan pembunuh, tetapi dengan mempergunakan cara dan metode yang lain.”[14]
Jadi korupsi tidak secara an sich mengkokohkan dirinya, secara inherent terkandung nilai-nilai masyarakat yang secara kondusif mendukung praktek korupsi. Oleh karena itu terjadi pengabaian terhadap peraturan yang harus dijalankan atau dipatuhi dengan mengatasnamakan nilai-nilai kultur masyarakat seperti untuk membantu teman sekampung yang terdesak kebutuhan ekonomi dsb. Peristiwa ini didefinisikan oleh Hans Kelsen sebagai desuetudo?[15]
Desuetudo didefinisikan sebagai dampak negatif yang disebabkan oleh nilai kebiasaan (Custom) terhadap hukum.[16] Desuetude paling tidak menyebabkan untuk suatu hal yang sama, masyarakat lebih mengacu kepada norma yang ada di masyarakat di bandingkan dengan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.[17] Jadi sebenarnya dapat diartikan bahwa untuk hal yang sama, norma di masyarakat menegasikan hukum yang mengatur hal terkait. Jadi kalau menurut hukum maling yang tertangkap tangan seharusnya dilaporkan kepada Polisi untuk diproses secara hukum, maka kebiasaan yang ada di masyarakat sekarang ini adalah si maling di hajar sampai babak belur bahkan kalau perlu di bakar, kemudian biar lah polisi yang nanti mengurusnya. Tetapi gejala desuetudo dalam konteks korupsi tentu lah tidak berlaku secara harafiah sebagaimana halnya contoh tentang maling tersebut.
Gejala desuetudo yang terjadi (umumnya kejahatan kerah putih / White Collar Crime) adalah ketika ada suatu peraturan yang mensyaratkan adanya suatu standar tertentu atau persyaratan tertentu untuk dikerjakannya suatu hal, maka peraturan tersebut akan mengalami “penyesuaian” di lapangan. Jadi ketika terjadi suatu tindakan korupsi dan ketentuan hukum yang dilanggar, maka tindak lanjutnya adalah penegakan hukum tersebut diminimalisir bahkan dieliminir agar tindakan tersebut dijalankan secara tuntas dan diusahakan tidak ada yang terjerat oleh hukum dengan mengaburkan pihak-pihak yang seharusnya dapat dimintai pertanggung jawabannya secara hukum.[18] Jika perkaranya terlalu sensitive dan memerlukan adanya pihak yang dipersalahkan, maka pihak dikorbankan tentunya pelaksana lapangan dan bukan aktor intelektual. Contoh konkret adalah skandal yang terjadi di sector perbankan seperti skandal BNI yang mengakibatkan terjadi kerugian 1,7 triliun rupiah.
Oleh karena itu, gejala desuetudo yang dialami Indonesia dalam melaksanakan penegakan hukum terutama pada kasus-kasus korupsi, bukan lah gejala penyakit sederhana seperti penyakit panu, melainkan penyakit kanker ganas yang sudah kronis dan akut menyebar ke seluruh tubuh.
Sedangkan kalau dilihat kembali perkara korupsi Probosutedjo yang melibatkan 5 orang pegawai administrative Mahkamah Agung sebagai tersangka, harus dilihat lebih lanjut bahwa tidak tersangkutnya tiga hakim agung termasuk ketua Mahkamah Agung dan Probosutedjo adalah refleksi dari gejala desuetudo tersebut atau kah cerminan mulai ditegakkannya hukum?
Jika perkara korupsi tersebut tidak akan menambah tersangka, meski ada keterangan dari Pono Waluyo (salah seorang pegawai MA yang menjadi tersangka) bahwa Parman Soeparman sebagai salah seorang dari tiga hakim yang memeriksa kasus tersebut menerima uang dan Parman tidak merubah keterangannya dan dapat membuktikannya di Pengadilan, maka gejala desuetudo memang terjadi pada kasus tersebut.[19] Bahkan Ketua MA Bagir Manan dan Harini Wiyoso sebagai “broker” perkara Probosutedjo mengakui bahwa keduanya pernah bertemu di gedung MA dan Harini menanyakan kasus Probosutedjo tersebut.[20] Tetapi pertanyaan yang patut diajukan adalah apakah penilaian Jaksa Agung Abdurahman saleh yang merasa yakin bahwa Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan tidak bersalah berdasarkan hasil percakapannya selama satu jam dengan ketua MA tersebut akan mempengaruhi KPK dalam penanganan kasus Probosutedjo?[21]
Jawaban atas pertanyaan di atas tentu tidak secara harafiah menyuratkan bahwa hukum dapat diasumsikan telah ditegakkan kalau Ketua Mahkamah Agung dan Probosutedjo tidak hanya dijadikan sebagai tersangka melainkan juga dinyatakan bersalah. Pandangan seperti ini akan menghilangkan azas Praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dalam penegakan hukum yang berkeadilan.
Tetapi pernyataan yang terlalu prematur menegaskan bahwa Ketua Mahkamah Agung tidak bersalah dalam kasus korupsi Probosutedjo tentu mendahului putusan Pengadilan Korupsi yang sidangnya pun belum ditentukan tanggalnya, yang mana pernyataan tersebut dapat mengganggu independensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan objektifitas KPK dalam melihat perkara tersebut.
Hal lain yang patut diperhatikan berkaitan dengan Probosutedjo sendiri. Apakah dengan pengaduan yang diajukan ke KPK menjadikan Probosutedjo secara otomatis memperoleh imunitas sehingga tidak dijadikan sebagai tersangka? Perlakuan seperti ini akan memberikan pelajaran bagi para “calon” penyuap bahwa kalau mereka melaporkan “keterpaksaannya” untuk menyuap di pengadilan kepada KPK, dapat diusahakan untuk menegosiasikan kepada KPK agar tidak dijadikan sebagai tersangka dalam kasus terkait.
Berdasarkan pasal 15 huruf a UU No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK mempunyai kewajiban untuk melindungi Saksi mau pun Pelapor:
Pasal 15 a: “memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi;
Penjelasan: “Yang dimaksud dengan “memberikan perlindungan”, dalam ketentuan ini melingkupi juga pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan kepolisian atau penggantian identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk perlindungan hukum[22]
Berdasarkan pasal 15 huruf a dan penjelasannya, mewajibkan KPK untuk memberikan perlindungan. Kewajiban ini berarti kewenangan tersebut tidak bersifat fakultatif yang dapat dilaksanakan atau tidak tergantung diskresi KPK, melainkan kewajiban yang bersifat obligatoir. Tetapi perlu diperjelas sampai sejauh mana perlindungan itu diberikan, apakah juga mencakup meniadakan unsur kesalahan yang dimiliki Pelapor kalau Pelapor adalah Pelaku Penyuapan dan penyebab ia melaporkan karena merasa “dikalahkan” oleh Pengadilan?
Hal ini karena terlihat Probosutedjo telah mengajukan perlindungan saksi kepada KPK.[23] Perlindungan yang diminta tersebut tidak hanya sebatas perlindungan atas terror yang dirasakan Probosutedjo terhadap demonstrasi yang marak menuntut Probosutedjo dihukum, melainkan juga mencakup atas kekuatiran Probosutedjo atas adanya “putusan balas dendam” yang dilakukan oleh Majelis Hakim. Situasi seperti ini tentu menjadi “sangat bermanfaat”, yang mana setiap putusan menyatakan Probosutedjo bersalah, dapat diartikan sebagai putusan balas dendam. Hal ini sesuai dengan keyakinan Arizal Boerr, kuasa hukum Probosutedjo pada tingkat kasasi yang berpandangan kliennya tidak bersalah.[24] Oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan bahwa putusan yang tidak membebaskan Probosutedjo akan dianggap sebagai “putusan balas dendam”.
Situasi tersebut menggambarkan indikasi gejala desuetudo pada kasus Probosutedjo, yang dapat diputus tidak bersalah atas perkara korupsi dana reboisasi. Penghukuman terhadap Probosutedjo akan dapat menimbulkan kesan bahwa para hakim melakukan “balas dendam” terhadap Probosutedjo. Jadi sudah terjadi bias dala perkara Probosutedjo, yang mana Probosutedjo yang seharusnya dihukum atas korupsi dana reboisasi dapat menjadi bebas karena mendapat perlindungan KPK. Akan lebih baik kalau Probosutedjo tetap diproses untuk perkara korupsi dana reboisasi dan untuk kasus penyuapan juga tetap dijadikan tersangka. Pergantian Majelis sebagaimana dihimbau Komisi Yudisial untuk menjaga objektifitas, memang sebaiknya dilakukan.[25]
Selain itu tidak hanya Probosutedjo, ketiga hakim agung yang memeriksa perkara Probosutedjo pun tidak akan diproses secara hukum. Hal terburuk yang dapat terjadi adalah mengundurkan diri atau dimutasi. Tetapi akan sangat sulit untuk melihat kadar kesalahan Bagir Manan sebagai Ketua Mahkamah Agung. Akhirnya demi menjaga kewibawaan institusi Mahkamah Agung, keadilan harus mengalami “penyesuaian”, yang mana fenomena ini menunjukkan bahwa gejala deseutudo telah menjangkiti hukum Indonesia dalam tahap yang sudah kronis.
[1] “Therefore, a normative order loses its validity when reality no longer corresponds to it, at least to certain degree”. Hans Kelsen, General Theory of Law and State (New York: Russel & Russel, 1961), at 110-161) dalam Politik Hukum 2, Part Two, dikumpulkan oleh Satya Arinanto, Program Pascasarjana FHUI, 2005, hal. 12
[2]“When we assume the truth of a statement about reality, it is because the statement corresponds to reality, because our experience confirms it”, Ibid.,, hal. 2
[3]Ibid.,
[4] www. hukumonline.com , Bagir Minta Probosutedjo Membuat Laporan Uang Rp16 Milliar, 12 Oktober 2005.
[5] www.rri-online.com , KPK kembali keluarkan larangan kirim dan terima parcel, 7 Oktober 2005, 17:19 WIB.
[6]Terminology Legal Order dalam makalah ini bukanlah Legal Order yang terjemahan harafiahnya adalah Orde Hukum, yang mana sudah dapat dipastikan bahwa sejak masa Bung Karno sampai dengan SBY, Pemerintahan menjalankan fungsinya berdasarkan aturan hukum yang ada dan melaksanakan kewenangannya dengan legal basis pada peraturan yang berlaku. Legal Order dalam makalah ini mengacu pada Hans Kelsen yang mendefinisikannya sebagai system of norms dalam tulisannya yang berjudul General Theory of Law and State, yang mana sebagai suatu Negara, paling tidak memiliki aturan-aturan tertentu yang bersifat preventif dan repressif dalam menangani tindakan-tinadakan aparat Negara yang menyimpang dari prosedur yang berlaku.
[7]“…, if the old order ceases, and the new order begins to be efficacious, because the individuals whose behavior the new order regulates actually behave, by and large, in conformity with the new order, then this order is considered as a valid order, Hans Kelsen, op. cit., hal.10
[8] Ibid.,
[9] www.transparansi.or.id/about_corruption/sebab.html , About Corruption : Sebab-sebab Korupsi, senin 17 Oktober 2005
[10] Ibid.,
[11] www.tempointeraktif.com , Tersangka Korupsi APBD NTB dicopot, Sujatmiko, Sabtu 7 Mei 2005
[12] www.tempointeraktif.com, Tersangka Korupsi APBD Solo bertambah satu, Anas Syahirul, 27 Oktober 2004
[13] About Corruption, op. cit.,
[14] Zaim Saidi, Prolog : Kejahatan Perusahaan, Kejahatan Kaum Priyayi, dalam Konglomerat Samson-Delilah, Cet. I, Mizan Pustaka: Kronik Indonesia Baru , Juni 1996, hal. 31
[15] Hans Kelsen, op. cit., hal.11
[16] “Desuetudo is the negative legal effect of custom” , Hans Kelsen, Ibid.,
[17] “A norm may be annulled by custom, viz., by a custom contrary to the norm, as well as it may be created by custom. Desuetudo annuls a norm by creating another norm, identical in character with a statute whose only function is to repeal a previously valid statute.” Hans Kelsen, Ibid.,
[18] Zaim Saidi, Ibid., hal.32
[19] www.hukumonline.com, Parman Soeparman membantah pernah terima uang dari Probosutedjo, cr-3, 15 Oktober 2005.
[20] www.hukumonline.com, Peradi harus menindak Harini Wiyoso, Mys- cr-1, 17 Oktober 2005
[21] www.hukumonline.com, Jaksa Agung yakin Bagir Manan tidak terlibat suap, mys- Cr-3,
[22] UU NO.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 15 huruf a dan penjelasannya
[23] www.hukumonline.com, Probosutedjo Mengungkap Keterlibatan Pengacara, Jaksa dan Hakim, cr-1, 17 Oktober 2005.
[24]Ibid.,
[25]Ibid.,
Choice of Law and Choice of Forum Dilemma in Business Contracts
Fatahillah.hoed@yahoo.com
None of us expects worst things to occur to our daily lives. But live is not always fills with cheers, joy and happiness, some times we have to prepare for the worst and sadness caused by something beyond our anticipation. It forces us to realize, every body have to face their own nightmare. Each person has to pass the obstacle in their live and even for some people occur on a timely basis.
However, some people have different perspective and perceive it as a challenge which it creates an opportunity for invention. Before using a fire to enlighten the dark, man just like animal, daily activity discontinue when the sun goes down. The invention growth further indicated by the invention of electricity which supports the invention of the light ball, which support people for their night and indoor activity.
This essay will elaborate mechanism needed in order to prevent or at least minimize any potential unpredicted negative event in the future correlated with the implementation of business contracts. It based on Choice of Law and Choice of Forum stated in the contract which decided mutually by the contract parties. Lack of Choice of Law and Choice of Forum in Business Contract create a Contract without clear direction for dispute settlement when dispute arise by any unpredicted Caused, which may caused different dispute settlement proceed by each party. Any party could also reject decision from any dispute settlement institution and seek supportive verdict from another dispute settlement institution in view of the fact that there is no guidance in the contract related to mandatory institution needs to seek by the party whenever any dispute arise caused by different interpretation or any unpredicted event.
Contracts provision shall commonly set the prevailing law for instance Indonesian Law. It means the contract parties desire to use Indonesian Law to regulate or as reference and the implementation of contract provision will be based on Indonesian Law. This is what we called it Choice of Law. Contract could also stated any dispute will be settle for instance in Singapore International Arbitration Centre. Its means the contract parties have reach mutual consensus regarding institution to settle any dispute may arise correlated with different interpretation or any unpredicted event affected the contract provision applicability which the terminology shall be Choice of Forum or Choice of Jurisdiction. Choice of Law is basically a mutual consent of the contract parties to utilize governing law in the contracts. Subsequent to nomination of the contract governing law, implementation and interpretation of contract provision shall refer to the governing Law selected by the contract parties. Disputes, will be scrutinize based on governing Law perspective in order to generate liabilities for each party. The Agency as a forum to resolve dispute either arbitration or court, determine by Choice of Forum of the contract parties.
There are considerations to select Choice of Law and Choice of Forum and Alternative Dispute Resolution (ADR). According to Baubly Gediminas, a maritime Lawyers, Choice of Forum related to select the appropriate court, could be determine by:
Prorogation Agreement: selecting certain court for dispute settlement
Derogation Agreement: the contract parties mutually consent will not resolve the dispute at the court of certain country.
However, the contracting parties aren’t entirely free to set Choice of Forum. Limitation to select Choice of Forum related to execution of the verdicts from the Agency set by Choice of Forum. Even the verdicts very supportive, it could be void for any reason such as violate public order for instance contravention with the policy of the Country where the execution of the verdict taken. Its probably occur in caused of the governing Law selected in Choice of Law is not related or appropriate with the Legal System in the Country where the verdict will be execute. Or the Choice of Forum decision is contravene with the prevailing Law and Regulation in the project location. The efficacy of Choice of Law and Choice of Forum also needs cautious consideration.
The contracting parties have to very cautiously consider selecting Choice of Law and Choice of Forum in the early phase promulgated the Contracts. Outside of Court as Choice of Law will be effective for party in good faith. Preventive action to doing business in Indonesia is by selecting Court as Choice of Forum. The preventive action is necessary because non Court Choice of Forum eventually will end up in Court when one of the contracting parties is non cooperative. It doesn’t mean everything will be just fine till the end of the road. It’s because the court also have deficiency. Indonesian Judges have minor understanding related to foreign law and various obstacles to invite Foreign Law Expert to Indonesian court. It would be wise to set Indonesian Law as Choice of Law and Indonesian Court as Choice of Forum for safety purposes dealing with Indonesian Company or Company with major asset located in Indonesia. It will not apply for Indonesian company owning an off-shore asset or multinational operate.
What will happen when the contracting parties drafting their contract without Choice of Law and Choice of Forum? Disaster! That will be the proper answer, obviously when one of the contracting parties intentionally breaches the contracts. The repressive action (to minimize the pain) could proceed by further interpretation to the contracts. Unspecified in the Contract according to Prof Mr. Sudargo Gautama, expert on International Private Law, could be interpreted as silently perform or selection constructed on the judgment of the Court based on assumption. The interpretation requires a court trial by the Judge or non Court forum based on mutual consent of the parties.
Dispute may occur in cause of Choice of Law and Choice of Forum in contracts unsuitable to the jurisdiction at the execution place. Usually occur in the internet services. One of the cases is “Playmen” magazine from Italy prohibited banned from publishing in America by the Court of New York in case Playboy Enterprises Inc. v. Chuckleberry Publishing Inc for violating “Playboy” copyright. The publisher publishes it through internet in Italy which also could be access in America. Federal Court deems the publisher has violated order from the Court.
American court decision could not harm as long as Playmen publisher keeps the business entity in Italy and there are no holding or subsidiary or representation office in America. Unfortunately internet services never consider jurisdiction as limitation. Company which advertising their product in the internet may treated as company operate in local area which could be charge in the local court like State of New York in such case as National Football League v. Miller and Connecticut in case Inset System, Inc. v. Instruction Set Inc. unfortunately Indonesian court hasn’t yet adopt similar provision which will be a dilemma when this kind of case arrive at Indonesian district court.
The condition apply in American state could also apply in ASEAN context and much wider to the case involving parties from different countries. It takes preliminary action to redefine jurisdiction concept, considering internet as essential necessity for global business in the future competition. Jurisdiction concept has to be extended, which also needs to cover cyberspace. Person or a legal entity have no needs to physically present or physically operate conducting business in certain area as a condition precedent to be indict for suffering certain party in related area.
There is a slight possibility in the future, Malaysian legal entity without any affiliation whatsoever to any company operate in Indonesia sue in Central Jakarta District Court on the grounds that internet promotion by such company has defect to person or certain legal entity in Indonesia. The extensions of market area by the internet also bring multiplier effect in form of extension of potential location to file a suit.
It make company has to be more cautious to formulate the content and advertise their product on the internet which have to avoid controversy. Of course creativity, imagination and innovation always have a space in internet.
Any preventive action will be hopeless because Internet accessible from every part of the world especially by the fast growing of the new technology. It makes reaction to any charges arise to the company advertise on the internet solely by reactive basis. It’s impractical to set limitation to his activity solely to certain area and not intentionally violate prevailing law in any jurisdiction. Even many company state such things in the disclaimer, the affectivity depend on perspective of any local court will it be admissible in occurrence of a petition submit to the related court.
How about choice of law? Is it still necessary to insert to the contract correlated to the promotion through internet cause in many places people could file a petition to the local court? Of course it’s still needed to have choice of law in the contract to minimize dispute and to have more constructive dispute settlement by having choice of law in the contract. Marketing via internet could produce more potentially parties to file a petition because violate his right or pride or any other causes which will never be minimize or prevent by the Choice of Law provision. It’s not only consumers; agency from any government could potentially file a petition because of the content of the advertising or the procedures of advertising have violated prevailing laws and regulation in such government. Company could have better course of action by providing Choice of Law in the On-line contract favors to the company which have to approve against internet consumers.
If there is a conclusion for our issue, to have choice of law and choice of forum in business contract have unique dilemma. Business contract excluding those elements may effectuates difficulty to reach mutual consensus when dispute arise related to different interpretation or any unpredicted event in period of contract implementation.
By including those elements, business contract would not guarantee shall be free or could minimize any potential dispute or petition especially by the involvement of internet. It has to be cautiously discussed by the parties to determine which governing law and agency could be more optimize to support implementation of the contract by considering any risk might arise.
None of us expects worst things to occur to our daily lives. But live is not always fills with cheers, joy and happiness, some times we have to prepare for the worst and sadness caused by something beyond our anticipation. It forces us to realize, every body have to face their own nightmare. Each person has to pass the obstacle in their live and even for some people occur on a timely basis.
However, some people have different perspective and perceive it as a challenge which it creates an opportunity for invention. Before using a fire to enlighten the dark, man just like animal, daily activity discontinue when the sun goes down. The invention growth further indicated by the invention of electricity which supports the invention of the light ball, which support people for their night and indoor activity.
This essay will elaborate mechanism needed in order to prevent or at least minimize any potential unpredicted negative event in the future correlated with the implementation of business contracts. It based on Choice of Law and Choice of Forum stated in the contract which decided mutually by the contract parties. Lack of Choice of Law and Choice of Forum in Business Contract create a Contract without clear direction for dispute settlement when dispute arise by any unpredicted Caused, which may caused different dispute settlement proceed by each party. Any party could also reject decision from any dispute settlement institution and seek supportive verdict from another dispute settlement institution in view of the fact that there is no guidance in the contract related to mandatory institution needs to seek by the party whenever any dispute arise caused by different interpretation or any unpredicted event.
Contracts provision shall commonly set the prevailing law for instance Indonesian Law. It means the contract parties desire to use Indonesian Law to regulate or as reference and the implementation of contract provision will be based on Indonesian Law. This is what we called it Choice of Law. Contract could also stated any dispute will be settle for instance in Singapore International Arbitration Centre. Its means the contract parties have reach mutual consensus regarding institution to settle any dispute may arise correlated with different interpretation or any unpredicted event affected the contract provision applicability which the terminology shall be Choice of Forum or Choice of Jurisdiction. Choice of Law is basically a mutual consent of the contract parties to utilize governing law in the contracts. Subsequent to nomination of the contract governing law, implementation and interpretation of contract provision shall refer to the governing Law selected by the contract parties. Disputes, will be scrutinize based on governing Law perspective in order to generate liabilities for each party. The Agency as a forum to resolve dispute either arbitration or court, determine by Choice of Forum of the contract parties.
There are considerations to select Choice of Law and Choice of Forum and Alternative Dispute Resolution (ADR). According to Baubly Gediminas, a maritime Lawyers, Choice of Forum related to select the appropriate court, could be determine by:
Prorogation Agreement: selecting certain court for dispute settlement
Derogation Agreement: the contract parties mutually consent will not resolve the dispute at the court of certain country.
However, the contracting parties aren’t entirely free to set Choice of Forum. Limitation to select Choice of Forum related to execution of the verdicts from the Agency set by Choice of Forum. Even the verdicts very supportive, it could be void for any reason such as violate public order for instance contravention with the policy of the Country where the execution of the verdict taken. Its probably occur in caused of the governing Law selected in Choice of Law is not related or appropriate with the Legal System in the Country where the verdict will be execute. Or the Choice of Forum decision is contravene with the prevailing Law and Regulation in the project location. The efficacy of Choice of Law and Choice of Forum also needs cautious consideration.
The contracting parties have to very cautiously consider selecting Choice of Law and Choice of Forum in the early phase promulgated the Contracts. Outside of Court as Choice of Law will be effective for party in good faith. Preventive action to doing business in Indonesia is by selecting Court as Choice of Forum. The preventive action is necessary because non Court Choice of Forum eventually will end up in Court when one of the contracting parties is non cooperative. It doesn’t mean everything will be just fine till the end of the road. It’s because the court also have deficiency. Indonesian Judges have minor understanding related to foreign law and various obstacles to invite Foreign Law Expert to Indonesian court. It would be wise to set Indonesian Law as Choice of Law and Indonesian Court as Choice of Forum for safety purposes dealing with Indonesian Company or Company with major asset located in Indonesia. It will not apply for Indonesian company owning an off-shore asset or multinational operate.
What will happen when the contracting parties drafting their contract without Choice of Law and Choice of Forum? Disaster! That will be the proper answer, obviously when one of the contracting parties intentionally breaches the contracts. The repressive action (to minimize the pain) could proceed by further interpretation to the contracts. Unspecified in the Contract according to Prof Mr. Sudargo Gautama, expert on International Private Law, could be interpreted as silently perform or selection constructed on the judgment of the Court based on assumption. The interpretation requires a court trial by the Judge or non Court forum based on mutual consent of the parties.
Dispute may occur in cause of Choice of Law and Choice of Forum in contracts unsuitable to the jurisdiction at the execution place. Usually occur in the internet services. One of the cases is “Playmen” magazine from Italy prohibited banned from publishing in America by the Court of New York in case Playboy Enterprises Inc. v. Chuckleberry Publishing Inc for violating “Playboy” copyright. The publisher publishes it through internet in Italy which also could be access in America. Federal Court deems the publisher has violated order from the Court.
American court decision could not harm as long as Playmen publisher keeps the business entity in Italy and there are no holding or subsidiary or representation office in America. Unfortunately internet services never consider jurisdiction as limitation. Company which advertising their product in the internet may treated as company operate in local area which could be charge in the local court like State of New York in such case as National Football League v. Miller and Connecticut in case Inset System, Inc. v. Instruction Set Inc. unfortunately Indonesian court hasn’t yet adopt similar provision which will be a dilemma when this kind of case arrive at Indonesian district court.
The condition apply in American state could also apply in ASEAN context and much wider to the case involving parties from different countries. It takes preliminary action to redefine jurisdiction concept, considering internet as essential necessity for global business in the future competition. Jurisdiction concept has to be extended, which also needs to cover cyberspace. Person or a legal entity have no needs to physically present or physically operate conducting business in certain area as a condition precedent to be indict for suffering certain party in related area.
There is a slight possibility in the future, Malaysian legal entity without any affiliation whatsoever to any company operate in Indonesia sue in Central Jakarta District Court on the grounds that internet promotion by such company has defect to person or certain legal entity in Indonesia. The extensions of market area by the internet also bring multiplier effect in form of extension of potential location to file a suit.
It make company has to be more cautious to formulate the content and advertise their product on the internet which have to avoid controversy. Of course creativity, imagination and innovation always have a space in internet.
Any preventive action will be hopeless because Internet accessible from every part of the world especially by the fast growing of the new technology. It makes reaction to any charges arise to the company advertise on the internet solely by reactive basis. It’s impractical to set limitation to his activity solely to certain area and not intentionally violate prevailing law in any jurisdiction. Even many company state such things in the disclaimer, the affectivity depend on perspective of any local court will it be admissible in occurrence of a petition submit to the related court.
How about choice of law? Is it still necessary to insert to the contract correlated to the promotion through internet cause in many places people could file a petition to the local court? Of course it’s still needed to have choice of law in the contract to minimize dispute and to have more constructive dispute settlement by having choice of law in the contract. Marketing via internet could produce more potentially parties to file a petition because violate his right or pride or any other causes which will never be minimize or prevent by the Choice of Law provision. It’s not only consumers; agency from any government could potentially file a petition because of the content of the advertising or the procedures of advertising have violated prevailing laws and regulation in such government. Company could have better course of action by providing Choice of Law in the On-line contract favors to the company which have to approve against internet consumers.
If there is a conclusion for our issue, to have choice of law and choice of forum in business contract have unique dilemma. Business contract excluding those elements may effectuates difficulty to reach mutual consensus when dispute arise related to different interpretation or any unpredicted event in period of contract implementation.
By including those elements, business contract would not guarantee shall be free or could minimize any potential dispute or petition especially by the involvement of internet. It has to be cautiously discussed by the parties to determine which governing law and agency could be more optimize to support implementation of the contract by considering any risk might arise.
Conjealed Injustice dalam Kebijakan Pemerintahan SBY-JK
Oleh: Satrio Pramono
“…Every legal order has a repressive potential because it is always at some point bound to the status quo and, in offering a mantle of authority, makes power more effective.”[1]
Penggalan kutipan di atas merefleksikan bahwa kekuasaan akan selalu berusaha untuk tetap dapat menjalankan kewenangannya secara efektif, atau setidak-tidaknya berusaha untuk menjaga dalam posisi status quo.
Jadi merupakan hal yang wajar ketika SBY-JK melakukan reshuffle kabinet, yang mana tindakan tersebut tidak hanya sekedar untuk memperbaiki kinerja pemerintahan, melainkan juga untuk meredam kegelisahan yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan kondisi perekonomian yang tampak menurun dengan adanya kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan di sektor ekonomi.[2]
Tentunya bukan lah keinginan SBY-JK untuk membiarkan kebijakan kenaikan BBM menjadi bumerang yang dapat menjatuhkan Pemerintahan. Kebijakan menaikkan harga BBM yang terakhir secara radikal paling tidak telah menjadi bahan pertimbangan segi positif dan negatif berkaitan dengan kontinuitas jalannya pemerintahan. Bukan lah hal yang tidak mungkin bahwa SBY-JK telah mempertimbangkan sebelumnya kalau sekiranya kenaikkan harga BBM menimbulkan keterpurukan dan tim ekonomi tidak dapat memperbaiki, maka jalan terakhir yang ada adalah reshuffle, di mana merupakan hal yang wajar ketika timbul suatu polemik, untuk meredam agar tidak meluas, harus ada yang dikorbankan demi kepentingan yang lebih besar (tetap berjalannya pemerintahan SBY-JK).
Meski pun perombakan tim ekonomi tidak dapat memuaskan semua pihak, tindakan tersebut paling tidak membuat banyak kalangan mengalami pergeseran wacana dari desakan perombakan kabinet menjadi desakan bagi tim ekonomi baru untuk dapat memperbaiki kondisi perekonomian.[3] Tentu keadaan ini terkesan tidak adil bagi yang terkena reshuffle karena tindakan tersebut tidak menimbulkan perbaikan kondisi perekonomian. Tetapi para korban pun tentunya memahami bahwa jabatan menteri terutama di tim ekonomi di era keterbukaan sekarang ini merupakan “kursi panas” yang setiap saat dapat tergantikan terlepas layak atau tidaknya pergantian tersebut demi mempertahankan jalannya pemerintahan dan menjaga efektifitas kewenangan, yang mana karakter ini disebut Congealed Injustice.[4]
Karakter ini dapat diinterpretasikan bahwa suatu pemerintahan memiliki karakteristik untuk dapat bertindak represif dalam mempertahankan kekuasaan dan lebih mengefektifkan dalam pelaksanaan kewenangan yang dimiliki. Tindakan represif tentunya tidak hanya sebatas pembunuhan terhadap aktifis maupun tindak kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap para demonstran. Tindakan represif dapat diartikan secara luas tidak sebatas tindakan pemerintah terhadap rakyatnya dalam bentuk tindak kekerasan fisik, melainkan juga tindakan represif pemerintah sebagai penguasa terhadap siapa pun termasuk menteri untuk menjaga keberlangsungan hidupnya dan lebih mengefektifkan kekuasaannya.
Pada tahun 2002, dua anak Presiden Korea Selatan Kim Dae Jung yaitu Kim Hong-Up dan Kim Hong-gul diseret ke Pengadilan karena kasus korupsi.[5] Peristiwa tersebut disatu sisi dapat dilihat sebagai perwujudan dari supremasi hukum, di mana siapa pun yang melanggar ketentuan hukum harus diproses untuk dilihat sejauh mana kesalahannya melalui persidangan pengadilan.
Tetapi harus dilihat pula posisi Kim Dae Jung yang tidak hanya sebagai Presiden Korea Selatan dan pimpinan dari Partai Demokratik Milenium melainkan juga sebagai kepala keluarga yang di Korea Selatan dikenal bersih dan tidak pernah melanggar hukum dan sebagai ayah dari kedua anak tersebut.[6] Sebagai Kepala Keluarga, Kim Dae Jung mempunyai kepentingan untuk menjaga citra keluarganya untuk tetap dikenal bersih dan tidak pernah melanggar hukum. Hal ini paling tidak membuat Kim akan selalu berusaha menjaga citra tersebut yang antara lain dapat dilakukan dengan mencegah dan mengatasi keadaan yang dapat merusak citra keluarganya seperti menghambat proses bahkan menekan dihentikannya penyidikan atas kasus yang melibatkan kedua anaknya. Selain itu sebagai seorang ayah tentu lah setidak-tidaknya akan berusaha membantu anaknya ketika berada dalam kesusahan dalam hal ini akan berusaha mencegah agar sang anak tidak sampai masuk penjara, terlepas seburuk apa pun kelakuan sang anak, yang mana hal ini merupakan suatu kewajaran. Ternyata Presiden Kim tidak melakukan intervensi terhadap proses hukum yang dijalani kedua anaknya. Tindakan ini tidak berarti bahwa Presiden Kim tidak memiliki rasa sayang terhadap anak dan atau hanya mementingkan dirinya semata. Keadaan ini dapat dilihat sebagai kesadaran dari Presiden Kim bahwa kepentingan negara dan partai yang dipimpinnya lebih besar dari kepentingan diri dan keluarganya.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa Presiden Kim memiliki pertimbangan kalau ia melakukan intervensi terhadap proses hukum yang berjalan, maka dapat mengganggu kelancaran pemerintahan serta efektifitas kewenangan karena reaksi yang timbul akibat intervensi tersebut. Dampak atas intervensi tidak sebatas rusaknya reputasi melainkan menghancurkan citra pemerintahan serta partai yang tengah berkuasa. Jadi dengan tidak melakukan pembelaan terhadap anaknya pun, Presiden Kim sebagai pemegang kekuasaan telah melakukan tindakan represif terhadap sang anak dengan tujuan meminimalisir dampak tindakan sang anak terhadap pemerintahan yang dipimpinnya. Tetapi realitas ini menunjukkan bahwa rejim Presiden Kim tidak menjalankan kepemimpinannya secara represif.[7] Hal ini karena Pemerintahan tidak melakukan tindakan secara aktif untuk mengarahkan agar sang anak dikenai hukuman yang setimpal tetapi tidak melakukan hal apa pun sehingga proses hukum berjalan secara an sich. Sedangkan dari sudut untuk tetap menjaga agar pelaksanaan kewenangan pemerintahan tidak terganggu dan dapat tetap berjalan secara efektif, Pemerintah menghukum siapa pun yang melanggar termasuk anak presiden.[8]
Jadi terdapat dua hal yang memungkinkan dilakukannya suatu tindakan represif, yaitu:
a. untuk menjaga situasi dan kondisi dalam keadaan status quo serta untuk lebih mengefektifkan kewenangan yang dijalankan[9]
b. adanya kepentingan tertentu (interest) yang hendak dijalankan tetapi beresiko tinggi karena dilakukan di luar sistem dan prosedur yang berlaku yang terkesan akan menimbulkan bencana.[10]
Bagaimana kah dengan kebijakan SBY menaikkan harga BBM lebih dari 100% pada tanggal 1 Oktober 2005? Apakah kebijakan tersebut dalam rangka mengamankan kewenangan yang sudah ada atau kah merupakan pelaksanaan yang bersifat “sense of jeopardy”?[11]
Kenaikan harga BBM merupakan konsekwensi logis atas upaya Pemerintah untuk melakukan pencabutan subsidi melalui pengurangan subsidi secara bertahap. Wacana ini sudah sejak lama didesak oleh beberapa pengamat ekonomi yang berpendapat bahwa subsidi BBM membebani anggaran negara terlebih dengan kenaikan harga minyak dunia diluar prediksi yang ditetapkan pada APBN.
Dengan asumsi bahwa orang miskin yang menikmati subsidi BBM tidak lah terlalu banyak, membuat Pemerintah SBY-JK berani menaikkan harga BBM hingga 128%. Hal ini dikemukakan antara lain dalam Warta Pertamina, bahwa berdasarkan hasil survei ekonomi nasional, rumah tangga terkaya menikmati minyak tanah 1 kali lebih banyak, bensin 3 kali lebih banyak dan solar 6 kali lebih banyak dari orang miskin.[12]
Pendapat pro pencabutan subsidi BBM pernah dikemukakan oleh pengamat perminyakan Dr.Kurtubi, yang mengatakan bahwa pada tahun 2001 Indonesia menjual premium di bawah rata-rata harga premium diantara 160 negara dan harga solar di posisi 7 terendah diantara 160 negara, yang mana murahnya harga BBM menyebabkan masyarakat menjadi sangat boros energi.[13]
Tetapi sepertinya Pemerintah terlalu percaya diri untuk menaikkan harga BBM terlalu tinggi baik dalam prosentase jumlah orang miskin yang diklaim bahwa penikmat subsidi adalah orang-orang kaya mau pun anggapan bahwa masyarakat dan dunia usaha masih memiliki kemampuan untuk menerima kenaikan tersebut.
Pemerintah kurang mempertimbangkan faktor bahwa BBM merupakan satu-satunya sumber energi untuk berbagai aktifitas yang dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. BBM juga dipakai oleh PLN untuk menghasilkan listrik bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang bergantung pada PLN sebagai penyedia listrik. Peralatan rumah tangga umumnya memakai listrik sesuai spesifikasi listrik PLN. Dapat dipastikan bahwa kenaikan harga BBM akan meningkatkan ongkos produksi PLN dalam menghasilkan listrik, yang mana makin memperparah kinerja PLN yang sudah parah akibat harga jual listrik di bawah 7 sen dollar Amerika per Kwh pasca krisis moneter. Jadi siapa bilang subsidi hanya dinikmati oleh orang kaya?
Pertanyaan lebih lanjut adalah apakah penduduk Indonesia yang sebagian besar berada di pulau Jawa seluruhnya berada dalam taraf ekonomi yang sejahtera? Lalu perlu dilihat lebih lanjut apakah kesejahteraan itu terjadi karena ditunjang oleh keahlian atau kah antara lain pekerjaan tersebut memiliki komponen BBM yang cukup dominan seperti pembuat krupuk dan sejenisnya. Jika diketahui bahwa banyak industri yang paling tidak 60% komponen produksinya adalah BBM, maka perlu difikirkan untuk mensosialisasikan kebijakan tersebut terlebih dahulu dan menyiapkan sarana dan prasarana agar industri tersebut dapat melakukan konversi ke sumber energi alternatif lainnya sehingga ketika BBM naik sampai lebih dari 100%, industri tersebut tidak akan terpukul yang dapat berakibat phk massal atau merumahkan sebagian besar pegawai.
Faktor lain yang perlu difikirkan adalah bagaimana dengan tingkat penghidupan para buruh sebagai akibat dari kenaikan BBM. Apakah Pemerintah dapat memaksa para pengusaha agar pasca kenaikan BBM gaji buruh dapat disesuaikan baik melalui mekanisme Upah Minimum Provinsi atau cara lainnya?
Komponen hidup buruh tersebut paling tidak adalah makanan dan transportasi, yang mana komponen BBM memiliki peran dominan pada kedua hal tersebut. Kenaikan harga BBM terlalu tinggi akan memberikan multiplier efek yang berdampak memberatkan kehidupan kaum pekerja. Sebelum kenaikan BBM para pekerja tersebut masih sanggup makan tiga kali sehari tanpa menu daging, maka pasca kenaikan BBM mengakibatkan penurunan daya beli dari sisi pekerja karena naiknya ongkos transportasi ke tempat kerja dan harga makanan dan kebutuhan lainnya disebabkan kenaikan pada komponen BBM.
Selain itu perlu juga difikirkan kalangan masyarakat yang bergerak di sektor informal seperti membuka warung kecil-kecilan, warteg dan beragam pedagang makanan, yang mana kenaikan BBM akan menambah ongkos produksi karena diperlukan biaya lebih besar untuk membeli bahan bakar bagi alat pengolah makanan dan bahan baku pembuat makanan. Jika tidak menaikkan harga maka cara yang ditempuh adalah dengan penurunan kualitas atau bahkan yang berbahaya adalah mencari bahan alternatif pengganti yang lebih murah tapi tanpa disadari berbahaya bagi kesehatan manusia seperti menambahkan zat kimia pemanis sebagai pengganti gula.
Suka atau tidak suka, mayoritas masyarakat Indonesia bermukim di pulau Jawa yang berada dalam karakteristik masyarakat perkotaan. Berbeda dengan masyarakat bercorak pedesaan yang dapat segera mengkonversi bahan bakar dari BBM ke ranting-ranting pohon, masyarakat perkotaan tidak lah memiliki banyak akses ke bahan bakar berbasis kayu. Tentu saja di perkotaan pun juga terdapat kayu-kayu tidak terpakai yang berasal dari aktifitas yang sudah selesai, tapi ketersediaannya tidak terdapat di semua tempat dan tidak memungkinkan bagi masyarakat perkotaan yang umumnya bekerja di pabrik mau pun menjaga toko dengan waktu kerja minimal 8 jam sehari untuk pulang kemudian mencari kayu bakar.
Pemerintah pun seharusnya juga menyadari bahwa kenaikan BBM tersebut juga akan memicu kenaikan anggaran bagi instansi Pemerintah dan lembaga Negara yang mana makin banyaknya uang yang beredar di masyarakat menyebabkan terjadinya penurunan nilai uang terhadap barang dan jasa atau dikenal dengan inflasi. Tentu ada mekanisme untuk menahan laju inflasi yaitu dengan cara menarik sebanyak mungkin uang yang beredar di pasar melalui peningkatan bunga SBI. Tetapi Pemerintah pasti juga menyadari bahwa dengan meningkatnya SBI akan berdampak pada makin tingginya suku bunga pinjaman komersial di bank. Tingginya suku bunga pinjaman di bank akan berakibat pada kesulitan bagi sektor swasta nasional dan memperbesar kemungkinan gagal bayar di sektor kartu kredit dan kredit kendaraan bermotor. Situasi seperti ini tentu tidak berdampak konstruktif untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Tetapi harus juga dipahami bahwa Pemerintah dengan segala kondisi dan alternatif tindakan yang tersedia, pada akhirnya langkah paling realistis adalah dengan menaikkan harga BBM terlepas dampaknya ke masyarakat, prioritas utama adalah bagaimana Pemerintah dapat menjalankan Pemerintahannya yang mana Pemerintahan hanya akan berjalan dengan adanya anggaran yang memadai. Inilah Conjealed Injustice dalam kebijakan Pemerintahan Indonesia yang berdampak cukup signifikan di masyarakat.
[1] Philip Nonet and Philip Selznick, Repressive Law, II, in Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, Politik Hukum 3, dikumpulkan oleh Satya Arinanto, Program Pascasarjana FHUI, 2005, hal. 73
[2] antara lain dapat dilihat di http://www.suarapembaruan.com/News/2005/03/04/Ekonomi/ eko05.htm Pemerintah tak mampu Menata Dampak Kenaikan BBM, B-15/ M-11, 4 Maret 2005
[3] http://www.sinarharapan.co.id/berita/0512/06/eko01.html, Perlu koordinasi Tim Ekonomi untuk perbaiki sektor riil, Naomi Siagian, Selasa 6 Desember 2005
[4] Philip Nonet and Philip Selznick , op.cit.,
[5] http://www.transparansi.or.id/berita/berita-agustus2002/berita3_060802.html Menggugah Perhatian, Pengadilan Korupsi di AS dan Korsel, KCM Selasa 6 Agustus 2002
[6]Ibid.,
[7]hal ini sesuai dengan pernyataan: “a repressive regime is one that puts all interests in jeopardy, and especially those not protected by an existing system of privilige and power ( Philip Nonet and Philip Selznick , op.cit. hal.74), yang mana membiarkan proses hukum berjalan merupakan usaha optimal untuk mengamankan kepentingan negara dan politik partai yang dipimpin.
[8] Philip Nonet and Philip Selznick , op.cit.hal.73
[9] Ibid.,
[10]Ibid., hal.74
[11]Ibid., hal.74
[12]http://www.pertamina.com/indonesia/head_office/hupmas/news/Wpertamina/2003/ Januari2003/wp010306.htm, Menyigi Subsidi BBM, Tim We Pe, Warta PT Pertamina (Persero): Warta Utama,
[13]Ibid.,
“…Every legal order has a repressive potential because it is always at some point bound to the status quo and, in offering a mantle of authority, makes power more effective.”[1]
Penggalan kutipan di atas merefleksikan bahwa kekuasaan akan selalu berusaha untuk tetap dapat menjalankan kewenangannya secara efektif, atau setidak-tidaknya berusaha untuk menjaga dalam posisi status quo.
Jadi merupakan hal yang wajar ketika SBY-JK melakukan reshuffle kabinet, yang mana tindakan tersebut tidak hanya sekedar untuk memperbaiki kinerja pemerintahan, melainkan juga untuk meredam kegelisahan yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan kondisi perekonomian yang tampak menurun dengan adanya kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan di sektor ekonomi.[2]
Tentunya bukan lah keinginan SBY-JK untuk membiarkan kebijakan kenaikan BBM menjadi bumerang yang dapat menjatuhkan Pemerintahan. Kebijakan menaikkan harga BBM yang terakhir secara radikal paling tidak telah menjadi bahan pertimbangan segi positif dan negatif berkaitan dengan kontinuitas jalannya pemerintahan. Bukan lah hal yang tidak mungkin bahwa SBY-JK telah mempertimbangkan sebelumnya kalau sekiranya kenaikkan harga BBM menimbulkan keterpurukan dan tim ekonomi tidak dapat memperbaiki, maka jalan terakhir yang ada adalah reshuffle, di mana merupakan hal yang wajar ketika timbul suatu polemik, untuk meredam agar tidak meluas, harus ada yang dikorbankan demi kepentingan yang lebih besar (tetap berjalannya pemerintahan SBY-JK).
Meski pun perombakan tim ekonomi tidak dapat memuaskan semua pihak, tindakan tersebut paling tidak membuat banyak kalangan mengalami pergeseran wacana dari desakan perombakan kabinet menjadi desakan bagi tim ekonomi baru untuk dapat memperbaiki kondisi perekonomian.[3] Tentu keadaan ini terkesan tidak adil bagi yang terkena reshuffle karena tindakan tersebut tidak menimbulkan perbaikan kondisi perekonomian. Tetapi para korban pun tentunya memahami bahwa jabatan menteri terutama di tim ekonomi di era keterbukaan sekarang ini merupakan “kursi panas” yang setiap saat dapat tergantikan terlepas layak atau tidaknya pergantian tersebut demi mempertahankan jalannya pemerintahan dan menjaga efektifitas kewenangan, yang mana karakter ini disebut Congealed Injustice.[4]
Karakter ini dapat diinterpretasikan bahwa suatu pemerintahan memiliki karakteristik untuk dapat bertindak represif dalam mempertahankan kekuasaan dan lebih mengefektifkan dalam pelaksanaan kewenangan yang dimiliki. Tindakan represif tentunya tidak hanya sebatas pembunuhan terhadap aktifis maupun tindak kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap para demonstran. Tindakan represif dapat diartikan secara luas tidak sebatas tindakan pemerintah terhadap rakyatnya dalam bentuk tindak kekerasan fisik, melainkan juga tindakan represif pemerintah sebagai penguasa terhadap siapa pun termasuk menteri untuk menjaga keberlangsungan hidupnya dan lebih mengefektifkan kekuasaannya.
Pada tahun 2002, dua anak Presiden Korea Selatan Kim Dae Jung yaitu Kim Hong-Up dan Kim Hong-gul diseret ke Pengadilan karena kasus korupsi.[5] Peristiwa tersebut disatu sisi dapat dilihat sebagai perwujudan dari supremasi hukum, di mana siapa pun yang melanggar ketentuan hukum harus diproses untuk dilihat sejauh mana kesalahannya melalui persidangan pengadilan.
Tetapi harus dilihat pula posisi Kim Dae Jung yang tidak hanya sebagai Presiden Korea Selatan dan pimpinan dari Partai Demokratik Milenium melainkan juga sebagai kepala keluarga yang di Korea Selatan dikenal bersih dan tidak pernah melanggar hukum dan sebagai ayah dari kedua anak tersebut.[6] Sebagai Kepala Keluarga, Kim Dae Jung mempunyai kepentingan untuk menjaga citra keluarganya untuk tetap dikenal bersih dan tidak pernah melanggar hukum. Hal ini paling tidak membuat Kim akan selalu berusaha menjaga citra tersebut yang antara lain dapat dilakukan dengan mencegah dan mengatasi keadaan yang dapat merusak citra keluarganya seperti menghambat proses bahkan menekan dihentikannya penyidikan atas kasus yang melibatkan kedua anaknya. Selain itu sebagai seorang ayah tentu lah setidak-tidaknya akan berusaha membantu anaknya ketika berada dalam kesusahan dalam hal ini akan berusaha mencegah agar sang anak tidak sampai masuk penjara, terlepas seburuk apa pun kelakuan sang anak, yang mana hal ini merupakan suatu kewajaran. Ternyata Presiden Kim tidak melakukan intervensi terhadap proses hukum yang dijalani kedua anaknya. Tindakan ini tidak berarti bahwa Presiden Kim tidak memiliki rasa sayang terhadap anak dan atau hanya mementingkan dirinya semata. Keadaan ini dapat dilihat sebagai kesadaran dari Presiden Kim bahwa kepentingan negara dan partai yang dipimpinnya lebih besar dari kepentingan diri dan keluarganya.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa Presiden Kim memiliki pertimbangan kalau ia melakukan intervensi terhadap proses hukum yang berjalan, maka dapat mengganggu kelancaran pemerintahan serta efektifitas kewenangan karena reaksi yang timbul akibat intervensi tersebut. Dampak atas intervensi tidak sebatas rusaknya reputasi melainkan menghancurkan citra pemerintahan serta partai yang tengah berkuasa. Jadi dengan tidak melakukan pembelaan terhadap anaknya pun, Presiden Kim sebagai pemegang kekuasaan telah melakukan tindakan represif terhadap sang anak dengan tujuan meminimalisir dampak tindakan sang anak terhadap pemerintahan yang dipimpinnya. Tetapi realitas ini menunjukkan bahwa rejim Presiden Kim tidak menjalankan kepemimpinannya secara represif.[7] Hal ini karena Pemerintahan tidak melakukan tindakan secara aktif untuk mengarahkan agar sang anak dikenai hukuman yang setimpal tetapi tidak melakukan hal apa pun sehingga proses hukum berjalan secara an sich. Sedangkan dari sudut untuk tetap menjaga agar pelaksanaan kewenangan pemerintahan tidak terganggu dan dapat tetap berjalan secara efektif, Pemerintah menghukum siapa pun yang melanggar termasuk anak presiden.[8]
Jadi terdapat dua hal yang memungkinkan dilakukannya suatu tindakan represif, yaitu:
a. untuk menjaga situasi dan kondisi dalam keadaan status quo serta untuk lebih mengefektifkan kewenangan yang dijalankan[9]
b. adanya kepentingan tertentu (interest) yang hendak dijalankan tetapi beresiko tinggi karena dilakukan di luar sistem dan prosedur yang berlaku yang terkesan akan menimbulkan bencana.[10]
Bagaimana kah dengan kebijakan SBY menaikkan harga BBM lebih dari 100% pada tanggal 1 Oktober 2005? Apakah kebijakan tersebut dalam rangka mengamankan kewenangan yang sudah ada atau kah merupakan pelaksanaan yang bersifat “sense of jeopardy”?[11]
Kenaikan harga BBM merupakan konsekwensi logis atas upaya Pemerintah untuk melakukan pencabutan subsidi melalui pengurangan subsidi secara bertahap. Wacana ini sudah sejak lama didesak oleh beberapa pengamat ekonomi yang berpendapat bahwa subsidi BBM membebani anggaran negara terlebih dengan kenaikan harga minyak dunia diluar prediksi yang ditetapkan pada APBN.
Dengan asumsi bahwa orang miskin yang menikmati subsidi BBM tidak lah terlalu banyak, membuat Pemerintah SBY-JK berani menaikkan harga BBM hingga 128%. Hal ini dikemukakan antara lain dalam Warta Pertamina, bahwa berdasarkan hasil survei ekonomi nasional, rumah tangga terkaya menikmati minyak tanah 1 kali lebih banyak, bensin 3 kali lebih banyak dan solar 6 kali lebih banyak dari orang miskin.[12]
Pendapat pro pencabutan subsidi BBM pernah dikemukakan oleh pengamat perminyakan Dr.Kurtubi, yang mengatakan bahwa pada tahun 2001 Indonesia menjual premium di bawah rata-rata harga premium diantara 160 negara dan harga solar di posisi 7 terendah diantara 160 negara, yang mana murahnya harga BBM menyebabkan masyarakat menjadi sangat boros energi.[13]
Tetapi sepertinya Pemerintah terlalu percaya diri untuk menaikkan harga BBM terlalu tinggi baik dalam prosentase jumlah orang miskin yang diklaim bahwa penikmat subsidi adalah orang-orang kaya mau pun anggapan bahwa masyarakat dan dunia usaha masih memiliki kemampuan untuk menerima kenaikan tersebut.
Pemerintah kurang mempertimbangkan faktor bahwa BBM merupakan satu-satunya sumber energi untuk berbagai aktifitas yang dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. BBM juga dipakai oleh PLN untuk menghasilkan listrik bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang bergantung pada PLN sebagai penyedia listrik. Peralatan rumah tangga umumnya memakai listrik sesuai spesifikasi listrik PLN. Dapat dipastikan bahwa kenaikan harga BBM akan meningkatkan ongkos produksi PLN dalam menghasilkan listrik, yang mana makin memperparah kinerja PLN yang sudah parah akibat harga jual listrik di bawah 7 sen dollar Amerika per Kwh pasca krisis moneter. Jadi siapa bilang subsidi hanya dinikmati oleh orang kaya?
Pertanyaan lebih lanjut adalah apakah penduduk Indonesia yang sebagian besar berada di pulau Jawa seluruhnya berada dalam taraf ekonomi yang sejahtera? Lalu perlu dilihat lebih lanjut apakah kesejahteraan itu terjadi karena ditunjang oleh keahlian atau kah antara lain pekerjaan tersebut memiliki komponen BBM yang cukup dominan seperti pembuat krupuk dan sejenisnya. Jika diketahui bahwa banyak industri yang paling tidak 60% komponen produksinya adalah BBM, maka perlu difikirkan untuk mensosialisasikan kebijakan tersebut terlebih dahulu dan menyiapkan sarana dan prasarana agar industri tersebut dapat melakukan konversi ke sumber energi alternatif lainnya sehingga ketika BBM naik sampai lebih dari 100%, industri tersebut tidak akan terpukul yang dapat berakibat phk massal atau merumahkan sebagian besar pegawai.
Faktor lain yang perlu difikirkan adalah bagaimana dengan tingkat penghidupan para buruh sebagai akibat dari kenaikan BBM. Apakah Pemerintah dapat memaksa para pengusaha agar pasca kenaikan BBM gaji buruh dapat disesuaikan baik melalui mekanisme Upah Minimum Provinsi atau cara lainnya?
Komponen hidup buruh tersebut paling tidak adalah makanan dan transportasi, yang mana komponen BBM memiliki peran dominan pada kedua hal tersebut. Kenaikan harga BBM terlalu tinggi akan memberikan multiplier efek yang berdampak memberatkan kehidupan kaum pekerja. Sebelum kenaikan BBM para pekerja tersebut masih sanggup makan tiga kali sehari tanpa menu daging, maka pasca kenaikan BBM mengakibatkan penurunan daya beli dari sisi pekerja karena naiknya ongkos transportasi ke tempat kerja dan harga makanan dan kebutuhan lainnya disebabkan kenaikan pada komponen BBM.
Selain itu perlu juga difikirkan kalangan masyarakat yang bergerak di sektor informal seperti membuka warung kecil-kecilan, warteg dan beragam pedagang makanan, yang mana kenaikan BBM akan menambah ongkos produksi karena diperlukan biaya lebih besar untuk membeli bahan bakar bagi alat pengolah makanan dan bahan baku pembuat makanan. Jika tidak menaikkan harga maka cara yang ditempuh adalah dengan penurunan kualitas atau bahkan yang berbahaya adalah mencari bahan alternatif pengganti yang lebih murah tapi tanpa disadari berbahaya bagi kesehatan manusia seperti menambahkan zat kimia pemanis sebagai pengganti gula.
Suka atau tidak suka, mayoritas masyarakat Indonesia bermukim di pulau Jawa yang berada dalam karakteristik masyarakat perkotaan. Berbeda dengan masyarakat bercorak pedesaan yang dapat segera mengkonversi bahan bakar dari BBM ke ranting-ranting pohon, masyarakat perkotaan tidak lah memiliki banyak akses ke bahan bakar berbasis kayu. Tentu saja di perkotaan pun juga terdapat kayu-kayu tidak terpakai yang berasal dari aktifitas yang sudah selesai, tapi ketersediaannya tidak terdapat di semua tempat dan tidak memungkinkan bagi masyarakat perkotaan yang umumnya bekerja di pabrik mau pun menjaga toko dengan waktu kerja minimal 8 jam sehari untuk pulang kemudian mencari kayu bakar.
Pemerintah pun seharusnya juga menyadari bahwa kenaikan BBM tersebut juga akan memicu kenaikan anggaran bagi instansi Pemerintah dan lembaga Negara yang mana makin banyaknya uang yang beredar di masyarakat menyebabkan terjadinya penurunan nilai uang terhadap barang dan jasa atau dikenal dengan inflasi. Tentu ada mekanisme untuk menahan laju inflasi yaitu dengan cara menarik sebanyak mungkin uang yang beredar di pasar melalui peningkatan bunga SBI. Tetapi Pemerintah pasti juga menyadari bahwa dengan meningkatnya SBI akan berdampak pada makin tingginya suku bunga pinjaman komersial di bank. Tingginya suku bunga pinjaman di bank akan berakibat pada kesulitan bagi sektor swasta nasional dan memperbesar kemungkinan gagal bayar di sektor kartu kredit dan kredit kendaraan bermotor. Situasi seperti ini tentu tidak berdampak konstruktif untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Tetapi harus juga dipahami bahwa Pemerintah dengan segala kondisi dan alternatif tindakan yang tersedia, pada akhirnya langkah paling realistis adalah dengan menaikkan harga BBM terlepas dampaknya ke masyarakat, prioritas utama adalah bagaimana Pemerintah dapat menjalankan Pemerintahannya yang mana Pemerintahan hanya akan berjalan dengan adanya anggaran yang memadai. Inilah Conjealed Injustice dalam kebijakan Pemerintahan Indonesia yang berdampak cukup signifikan di masyarakat.
[1] Philip Nonet and Philip Selznick, Repressive Law, II, in Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, Politik Hukum 3, dikumpulkan oleh Satya Arinanto, Program Pascasarjana FHUI, 2005, hal. 73
[2] antara lain dapat dilihat di http://www.suarapembaruan.com/News/2005/03/04/Ekonomi/ eko05.htm Pemerintah tak mampu Menata Dampak Kenaikan BBM, B-15/ M-11, 4 Maret 2005
[3] http://www.sinarharapan.co.id/berita/0512/06/eko01.html, Perlu koordinasi Tim Ekonomi untuk perbaiki sektor riil, Naomi Siagian, Selasa 6 Desember 2005
[4] Philip Nonet and Philip Selznick , op.cit.,
[5] http://www.transparansi.or.id/berita/berita-agustus2002/berita3_060802.html Menggugah Perhatian, Pengadilan Korupsi di AS dan Korsel, KCM Selasa 6 Agustus 2002
[6]Ibid.,
[7]hal ini sesuai dengan pernyataan: “a repressive regime is one that puts all interests in jeopardy, and especially those not protected by an existing system of privilige and power ( Philip Nonet and Philip Selznick , op.cit. hal.74), yang mana membiarkan proses hukum berjalan merupakan usaha optimal untuk mengamankan kepentingan negara dan politik partai yang dipimpin.
[8] Philip Nonet and Philip Selznick , op.cit.hal.73
[9] Ibid.,
[10]Ibid., hal.74
[11]Ibid., hal.74
[12]http://www.pertamina.com/indonesia/head_office/hupmas/news/Wpertamina/2003/ Januari2003/wp010306.htm, Menyigi Subsidi BBM, Tim We Pe, Warta PT Pertamina (Persero): Warta Utama,
[13]Ibid.,
Subscribe to:
Comments (Atom)