Tentu masih segar dalam ingatan kita, ketika Luna Maya diperiksa polisi karena apa yang dinyatakannya di tweeter terhadap awak media infotainment. Terlepas benar atau tidak maupun apakah hal tersebut sebenarnya lebih merupakan kesan yang didapat Luna Maya atas salah satu interaksinya dengan awak media infotainment yang menimbulkan kegusaran Luna, secara jelas apa yang dikemukakan Luna di Tweeter menjadi dasar proses verbal terhadap dirinya di Kepolisian.
Selain itu yang lebih fresh lagi adalah fenomena facebook yang menyeret beberapa korban yang terseret ke kantor polisi antara lain di Bogor, di mana salah satu remaja wanita diproses polisi karena urusan cinta remaja, dan di daerah lain di mana beberapa pelajar sma dikeluarkan karena gurunya merasa terancam karena kata-kata intimidatif yang terdapat dalam facebook beberapa pelajar tersebut terhadap guru mereka.
The last but not least, adalah kasus Prita Mulyasari, yang merupakan Causa Selebre untuk UU ITE. Email yang berisi curhatan Prita atas pengalamannya di RS Omni Internasional, yang sebenarnya hanya dikirim kepada teman-temannya, ternyata menyebar dan diketahui RS Omni sehingga diadukan kepada aparat yang berwenang.
Kasus-kasus di atas sebenarnya secara jelas menggambarkan bahwa sepanjang seseorang memperkenalkan identitasnya secara jelas di dunia maya (seperti akun tweeter Luna Maya yang diketahui bahwa akun tersebut memang lah dibuat oleh Luna sendiri dan akun facebook para pelajar yang memuat kata-kata intimidatif diakun mereka terhadap sang guru), yang mana membuat orang lain dapat mengetahui orang terkait secara offline, maka apa yang dikemukakannya di media online memberikan hak kepada orang atau pihak untuk mengajukan pelaporan secara hukum.
Tentu tidak hanya di dunia maya, dalam kehidupan keseharian pun setiap orang dapat dilaporkan ke aparat yang berwenang atas segala tindakan dan perkataannya. Tetapi terdapat perbedaan mendasar atas apa yang dikatakan seseorang di dunia maya dan apa yang dikatakan secara offline. Jika beberapa pelajar itu hanya menyatakan hal-hal di facebook mereka secara langsung, maka tanpa adanya saksi dan para pelajar tersebut tidak ada yang memberikan pengakuan, dari sisi pembuktian, guru maupun pihak sekolah akan sulit mengharapkan aparat yang berwenang untuk memprosesnya lebih lanjut. Bahkan memulangkan para pelajar tersebut ke orang tuanya akan membuat pihak sekolah memiliki resiko hukum, tentunya kalau kata-kata intimidatif tersebut hanya diungkapkan secara langsung kepada sang guru tanpa adanya saksi.
Ketiadaan saksi (karena alat bukti lain tidak ada) akan menyulitkan proses hukum di Pengadilan, yang mana pasal 185 ayat 2 KUHAP menyatakan: ”keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa Terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.
Hal ini karena di dunia maya, sepanjang seseorang memperkenalkan dirinya secara jelas, maka apa yang dikemukakannya memiliki resiko lebih tinggi secara hukum. Timbulnya resiko ini karena format dari apa yang dikemukakan (pesan) orang terkait bersifat permanen dan dapat dirujuk kembali ke sumber awal. Berbeda dengan kehidupan keseharian, meski pun direkam secara audio visual juga tidak mengalami perubahan format pesan, tetapi pola penyebaran tidak semassif dunia maya.
Jadi terlihat bahwa pola penyebaran lah yang membuat resiko hukum menjadi lebih tinggi dalam menyampaikan pesan dibandingkan kalau disampaikan secara offline.
Jika melihat pasal 1 angka 1 UU ITE, kasus-kasus di atas baik berupa posting di facebook dan tweeter dapat diklasifikasikan sebagai Informasi Elektronik.
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya
Berbeda halnya dengan e-mail Prita Mulyasari, meski e-mail terdapat dalam cakupan definisi Informasi Elektronik, tetapi karena e-mail tersebut sudah diteruskan (diforward) yang antara lain diterima pihak terkait RS Omni dan banyak pihak, maka e-mail Prita ini terklasifikasi sebagai Dokumen Elektronik sesuai pasal 1 angka 4 UU ITE.
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makan atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Terlepas digolongkan Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik, pasal 5 ayat 1 UU ITE menegaskan bahwa Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik dapat menjadi alat bukti yang sah secara hukum. Lebih lanjut digariskan pada pasal 5 ayat 2 bahwa ketika Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik dicetak, maka berdasarkan perspektif UU ITE, hasil cetakan tersebut juga dinyatakan sebagai alat bukti yang sah secara hukum. Selain itu baik dalam bentuk softcopy maupun hasil cetakannya, UU ITE mengesahkannya sebagai alat bukti yang sah sesuai hukum acara yang berlaku di Indonesia.
Jadi sekiranya Hakim atau Jaksa berdasarkan persepsinya belum menerima Informasi atau Dokumen Elektronik sebagai bukti di muka persidangan, maka pasca keberlakuan UU ITE, persepsi demikian sudah tidak dapat dipertahankan.
Informasi atau Dokumen Elektronik akan menjadi relevan sebagai alat bukti ketika Informasi atau Dokumen Elektronik tersebut mengandung muatan sebagaimana diatur Bab VII UU ITE antara lain melanggar kesusilaan, terdapat muatan perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik dan pemerasan/pengancaman.
Terpenuhinya salah satu perbuatan sebagaimana diatur Bab VII UU ITE tersebut, menerbitkan hak bagi Pihak yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan kepada pihak yang melakukan perbuatan terkait sebagaimana diatur sesuai pasal 38 UU ITE.
Selain proses perdata pada pasal 38 UU ITE, Pasal 42 UU ITE membuka kemungkinan untuk diajukan secara pidana, yang mana proses secara pidana selain mengacu pada UU ITE juga hukum acara yang berlaku yaitu dalam konteks masa ini yaitu KUHAP.
Oleh karena itu secara jelas, UU ITE memberikan dampak signifikan bagi Informasi atau Dokumen Elektronik khususnya dalam hal pengakuan sebagai alat bukti yang sah di pengadilan, yang mana ini terlihat dari beberapa contoh kasus di atas.
Tetapi dengan melihat kasus-kasus yang terjadi pasca berlakunya UU ITE ini, sepertinya perlu pengaturan lebih lanjut agar proses hukum yang dilaksanakan, tidak hanya semata-mata melihat pada terpenuhinya prosedural hukum yang berlaku, melainkan perlu juga melihat pada keadilan masyarakat.
Oleh karena itu menjadi kuatnya Informasi atau Dokumen Elektronik harus diimbangi dengan aturan hukum yang mengakomodir rasa keadilan masyarakat, agar penerapan hukum tidak secara berlainan karena perbedaan kadar rasa keadilan masyarakat dalam setiap proses hukum terkait.
Labels
Saturday, April 24, 2010
Subscribe to:
Comments (Atom)